JAKARTA
— Anggota parlemen dari Asia Tenggara menyerukan pembebasan segera dan
tanpa syarat lima pembela hak asasi manusia (HAM) yang saat ini ditahan
dan menghadapi tuduhan di Kamboja.
Bergabung dengan lebih dari
50 organisasi masyarakat sipil nasional, regional, dan internasional
untuk memulai tekanan baru untuk mengamankan kebebasan mereka, ASEAN
Parliamentarians for Human Rights (APHR) mengutuk pemenjaraan yang
sedang berlangsung atas tuduhan yang dibuat-buat kepada anggota Komisi
Pemilihan Umum (NEC) dan empat staf dari Asosiasi Hak Asasi Manusia dan
Pembangunan Kamboja (ADHOC), sebuah LSM nasional terkemuka di Kamboja.
Anggota parlemen menyerukan diakhirinya pelecehan peradilan terhadap
mereka dan mendorong penggalangan dukungan dari masyarakat internasional
untuk membela lima pembela HAM tersebut yang kini telah menghabiskan
lebih dari 100 hari dalam penahanan pra-sidang.
"Kita harus tegas
dalam dukungan kami untuk pembebasan mereka. Tidak boleh ada
penangkapan atau pemenjaraan yang sewenang-wenang dan anggota
masyarakat sipil tidak boleh ditempatkan pada risiko karena melakukan
pekerjaan mereka membela HAM dan Demokrasi, "kata Ketua APHR Charles
Santiago, anggota Parlemen Malaysia.
"Tuduhan dalam hal ini
adalah jelas bermotif politik dan telah merusak aturan hukum yang sudah
lemah di Kamboja. Pihak berwenang harus membebaskan lima pembela HAM
jika mereka berharap kesempatan untuk menyelamatkan kredibilitas mereka
di mata internasional. "
Empat anggota staf ADHOC - Ny Sokha, Yi
Soksan, Nay Vanda, dan Lim Mony - ditangkap pada tanggal 28 April,
bersama dengan Wakil Sekretaris Jenderal NEC Ny Chakrya, dan baru
dikenai tuntutan empat hari kemudian atas dugaan menyuap saksi dalam
kasus yang sedang berlangsung terhadap wakil Pemimpin Oposisi Kem Sokha.
Petmintaan banding mereka penangguhan penahanan ditolak pada tanggal 13
Juni, dan mereka menghadapi sepuluh tahun penjara jika terbukti
bersalah.
"Pemerintah Kamboja membuat olok-olok terhadap hukum
dengan mengupayakan kriminalisasi terhadap individu-individu tersebut,"
kata Santiago. "Keterlaluan menempatkan pekerja LSM diadili karena
menyediakan bantuan hukum yang sah untuk warga yang membutuhkan apalagi
ada fakta bahwa pengadilan jelas digunakan oleh pemerintah untuk alat
agenda politik."
Pemenjaraan lima pembela HAM terjadi dalam
konteks situasi politik di Kamboja yang semakin memusuhi masyarakat
sipil. Pada tahun lalu, telah nampak peningkatan tajam dalam pelecehan,
intimidasi, dan serangan terhadap oposisi dan suara-suara independen
termasuk adanya lonjakan jumlah tahanan politik di Kamboja. Tanggal 10
Juli terjadi pembunuhan terhadap komentator politik terkemuka Kem Ley,
hal ini menimbulkan kekhawatiran tambahan tentang keselamatan masyarakat
sipil.
"Kami telah mendapat laporan adanya serangan
habis-habisan terhadap masyarakat sipil di Kamboja," kata Eva Kusuma
Sundari, anggota DPR RI. "Ini harus diakhiri. Pihak berwenang memiliki
tugas untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok masyarakat sipil -
termasuk yang kritis terhadap pemerintah -. Memiliki ruang untuk
beraktivitas secara bebas dari penganiayaan dan intimidasi "
"Untuk
lima yang tetap di penjara sesungguhnya sedang terlanggar hak-hak dasar
mereka: Ketahuilah bahwa kita tidak lupa Anda dan kami berdiri dengan
Anda dalam solidaritas," kata anggota Majelis Nasional Kamboja Mu
Sochua.
"Kami akan terus menyerukan pembebasan Anda dan mendorong
maju menuju masa depan untuk Kamboja di mana hak asasi manusia
dilindungi dan kehendak rakyat dihormati."
Solo, 10/8/2016, anggota komisi XI FPDIP dan board APHR
Anggota APHR - Kika: Mercy Barends (RI), Mo Sochua
(Cambodia), Teodoro Baguilat (Philipina), Katshuri Patto (Malaysia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar