Eva
Sundari membagikan hasil riset PEW Research Center's Forum on Religion
"Trends in Religious Restrictions and Hostilities 2015
(http://perform.org) untuk tingkat kebebasan beragama di 25 negara
berpenduduk terbesar di dunia. Riset berdasar 2 faktor yaitu jumlah
kekerasan oleh masyarakat sipil (Social Hostilities) dan regulasi pemerintah
yang membatasi (Government Restrictions) menempatkan Indonesia pada
kuadran terburuk di dunia karena kedua indikator menempati posisi
tertinggi.
Fakta tersebut dipaparkan di pertemuan Asia
Foundation dengan 16 mitra mereka dalam program PROSPECT yang bekerja
untuk "peningkatan perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan
beragama serta HAM di Indonesia. Pertemuan berlangsung pada hari ini
(11/8/2016) di Solo.
Eva Sundari menyatakan "Masyarakat
internasional mulai meletakkan Indonesia sebagai kasus serius di arena
global, jadi berbangga diri bahwa kita sebagai model masy toleran jadi
ironi dan paradok." Dalam riset yang sama, ditemukan korelasi negatif
antara tingkat kemakmuran (HDI) dengan tk kekerasan berbasis agama.
Karena
konflik kekerasan agama (mayoritas) terhadap agama (minoritas) bersifat
dinamis yaitu korban di Indonesia Barat bisa menjadi kelompok pelaku di
Indonesia Timur maka pilihan rational strategy penyelesaiannya berdasar
konstitusi (bukan agama tertentu) yaitu Pancasila dan pilar-pilar berbangsa dan
bernegara sebagai titik temu beragam agama. Ini disepakati oleh Imdadun
Rahmat Ketua Komnasham. "Para pemimpin daerah sering terlibat deal-deal di
bawah meja berupa kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap agama minoritas di
daerah tersebut jika kelak si calon menang."
Strategi menggunakan
Pendekatan berdasar konstitusional tersebut disetujui oleh para peserta
yang semuanya aktivis lapangan untuk kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Beberapa menceritakan kegagalan pengajaran pluralisme dan
inklusivitas menggunakan perspective HAM semata di sekolah. Tantangan
strategi Pendekatan konstitusi adalah bagaimana Pancasila bisa
diturunkan ke level ethos (pelaksanaan) bukan sekedar logos
(pengetahuan) dan pathos (penghayatan) saja seperti sosialisasi MPR
selama ini.
Dari pengalaman Komnasham melakukan advokasi kasus-kasup
kekerasan berbasis agama, Imdadun menyarankan DPR untuk memastikan
Pancasila diintegrasikan kedalam Legislasi yaitu menjadi norma-norma dalam
produk perundangan. "Tidak cukup di level konsep atau prinsip-prinsip,
Pancasila dan UUD harus jadi norma hukum supaya memudahkan penegak hukum
menjalankan perlindungan terhadap kebebasan beragama dan
berkeyakinan/berkepercayaan, " ungkap Ketua Komnasham tersebut.
Solo, 11/8/2016, Eva Kusuma Sundari angg kom XI FPDIP dan wakoord Kaukus Pancasila DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar