
Eva Kusuma Sundari Komisi III DPR mendapatkan keluhan dari warga masyarakat penganut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang merasa dijajah di tanah air sendiri karena dipaksa menganut agama tertentu.
Anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, bercerita, pihaknya mendapat
keluhan dari masyarakat demikian. Misalnya Ibu Tenry Bibi dari Tolotang,
Sidrap, Sulawesi Selatan, yang secara terbuka mengungkapkan perasaan ‘sedang
dijajah di tanah air sendiri’ itu.
“Bentuk ‘penjajahan’ itu terlembaga dan bermula dari pencantuman identitas
agama di KTP. Walau MK sudah membuat putusan bahwa negara tidak berhak
membatasi enam agama resmi, tetapi dalam pembuatan KTP dan E-KTP, agama-agama
lokal tidak diakomodasi alias disetrip,” beber Eva dalam keterangannya yang
diperoleh di Jakarta, Kamis (30/10), seperti dilansir beritasatu.com.
Pemasalahan bermunculan karena tanda ‘strip’ dianggap bermakna jamak.
Perasaan sejenis juga pernah disampaikan Ibu Dian Jeani dari Sapto Darmo,
Surabaya, yang menceritakan bagaimana anak-anak Penghayat diolok-olok sebagai
kafir ketika menjelaskan identitasnya sebagai Penganut Penghayat.
“Karena sekolah tidak menyediakan pelajaran agama penghayat, maka anak-anak
penghayat dipaksa ikut pelajaran agama Islam termasuk menjalankan praktek
shalat,” jelas Eva.
“Akibatnya, anak-anak itu stress walau dalam UU Sisdiknas mewajibkan
sekolah menyediakan mata pelajaran agama bagi semua siswa sesuai keyakinan
masing-masing.”
Posisi para penghayat menjadi semakin rawan tidak terlindungi secara hukum
ketika dihadapkan dengan ormas-ormas agama yang antipluralitas.
Di Jambi, kata Eva, para penganut agama lokal disebut ‘penghayat sesat’
oleh ormas agama setempat dan rawan jadi sasaran kekerasan baik simbolik maupun
fisik. Hal senada sudah terjadi di Jawa Barat.
Karena itu juga, kata Eva, dia mendapat laporan bahwa para ibu-ibu tersebut
mengeluhkan ketika Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan agar pemda-pemda merangkul
ormas seperti FPI.
“Mereka merasa seperti diumpankan ke ormas-ormas pelaku kekerasan yang
dalam strateginya mempolitisasi agama,” imbuhnya.
Pada 29 Oktober lalu, 15 ibu-ibu dari 12 kelompok Penghayat Kepercayaan di
bawah koordinasi Aliansi Bhinneka Tunggal Ika, mengadu ke Fraksi PDI
Perjuangan. Mereka menuntut agar pencantuman agama dihilangkan dari KTP karena
menjadi sumber diskriminasi. Selain itu, mereka merasa perlu penegasan negara
atas eksistensi agama-agama lokal di Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar