Selasa, 12 November 2013

Eva Kusuma Sundari: Pahlawan Kaum Tertindas dari Nganjuk

“Dia (Menneg BUMN Dahlan Iskan) tidak bisa secara pengecut mundur dan lepas tangan terhadap apa yang sudah dia mulai,” ungkap anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, bulan November 2012 lalu.
Komentar pedas itu dilontarkan Eva terhadap Dahlan yang ragu melaporkan informasi pemerasan BUMN oleh anggota dewan kepada KPK. Eva berpendapat, pernyataan Dahlan, telah merugikan banyak anggota dewan, apalagi sebelumnya beredar informasi gelap yang berisi inisial politisi yang disebut memeras BUMN, antara lain Eva Sundari.
“Dia serius membenahi negeri atau hanya mau cari selamat sendiri dengan menumbalkan politisi yang sekarang meriang akibat kemiripan inisial pemeras? Saya protes!,” tukas perempuan kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 8 Oktober 1965 itu.
Januari 2012 silam, Eva dicacimaki penentang GKI Yasmin di Puncak, Jawa Barat. Dia sengaja ke lokasi untuk persiapan rapat koordinasi antara DPR dan pemerintah, membahas GKI Yasmin. Ketika tiba, massa tengah mengusir jemaat yang berdatangan. Eva juga diusir. “Seorang ibu menuding-nuding saya, ‘ngapain kamu ke sini?’ Dia mengira aku jemaat. AKu jawab, ‘saya anggota DPR sedang melakukan pengawasan.’ Dia langsung kalap lalu teriak, ‘ini daerah kami. Kenapa kamu bela yang salah?’” kisah Eva.
Sejumlah orang mendorong dan menarik baju Eva. “Melototi aku. Sedih deh. Melihat aku dikepung, intel-intel polisi menyarankan aku masuk mobil. Awalnya aku menolak, tapi kasihan juga aku ke para intel itu,” cerita Eva lagi. “Mobilku dibaret-baret,” tambah Eva serius. Ada juga berteriak, “’Eva penyusup. Kalau berani keluar. Jangan sembunyi seperti dedemit’. Padahal mereka yang sembunyi di balik kelompok,” tukas Eva.
Paparan di atas merupakan contoh dari sekian banyak contoh karakter Eva pemberani dan selalu berkomentar kritis. “Kalau berani, dari kecil sudah berani. Itu karakter. Aku ini seringkali bertindak dulu baru berpikir,” tukas Eva kepada majalah REQuisitoire, dalam sebuah wawancara khusus di DPR awal Desember 2012. Berikut, petikan wawancara selengkapnya;
Apa sih yang membuat Ibu selalu bertindak berani dan berkomentar lugas dan kritis? Tidak takut?
Aku nggak pernah takut. Selalu berusaha membela yang lemah dan berani melawan arus. Seperti kasus tembakau. Ketika banyak orang mengajak antirokok, aku mikir dua kali. Kalau rokok dilarang, bagaimana nasib petaninya. Aku sih insting saja untuk tidak setuju. Jadi bolehlah antirokok tetapi siapkan dulu transisinya. Saya turun ke daerah dan langsung melihat kehidupan petani tembakau. Anda bayangkan, petani tembakau harus menghidupi 4 orang; istri dan dua anak, itu minimal. Jadi perekonomian harus dihitung cermat, jangan asal omong antitembakau, tidak melihat ini dan itu. Saya juga pernah ditangisi penganut Islam Syiah. Saya berusaha lihat dari sisi kemanusiaannya, masa ada orang mengungsi dan Pemda-nya memberhentikan bantuan makanan. Kasus Ahmadiah, kalau politisi lain hitung-hitung dulu sebelum bertindak, bagaimana keuntungannya bagi suara mereka kelak. Kalau saya tidak mau tau. Saya suarakan apa yang seharusnya disuarakan. Ini kan ketidakadilan, maka saya omong. Kalau soal keadilan, saya tidak pernah menghitung-hitung, berjuang secara murni, bukan politis!
Latar belakang pendidikan Ibu dari Universitas Airlangga, Ekonomi Pembangunan, dan ke Belanda dan Inggris studi Politik, sekarang di DPR di Komisi III, bidanghukum
Tidak masalah. Saya cocok di sana. Fraksi (PDIP) menugaskan saya di Komisi III tentu dengan pertimbangan masak. Komisi III bukan hanya hukum tetapi juga terkait HAM dan itu bidang saya. Dalam berbagai hal, saya selalu melihat soal adil atau tidaknya berbagai persoalan. Masuk akal atau tidak. Setelah itu baru argumen hukumnya. Kalau teman-teman yang dari hukum, ada masalah hukum, pasti langsung connect sama UU dan pasal-pasalnya.
Kenapa sih Ibu mau jadi menjadi wakil rakyat?
Tidak ada perencanaan sebelumnya, saya dapat karena kuota perempun. Ketika itu saya ditawari masuk ke PDIP dan saya kan orang politik, ya sudah, mau saja.  Ibu saya (Rajiati, kini 84 tahun) juga dulu anggota DPRD Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, periode 1992-1997. Jadi, politik bagi saya bukan sesuatu yang asing. Dulu Ibu sering cerita aktivitas politiknya, tetapi tidak pernah mengarahkan saya untuk berpolitik. Saya rasa, Ibuku telah mewariskan idealisme, ideologi dan visinya dalam berpolitik. Tetapi sekarang ini Ibuku selalu mengkhawatirkan saya hahahahaha…
Ibu akan terus konsisten membela yang lemah, teraniaya, yang diperlakukan tidak adil?
Ini karakter dan panggilan hidup saya. Asal tahu saja, demonstrasi pertama di Surabaya itu aku. Saya memelopori demonstrasi SDSB di Surabaya, ya ketika itu saya seorang dosen muda yang idealis dan saya kan bekas ketua senat.  Teman-teman mahasiswa dan lainnya dukung saya, kita bergerak. Sebagai akibatnya selama 6 bulan, saya tidak boleh mengurus mahasiswa. Tidak apa-apa, tetapi saya bangga telah menularkan semangat, keberanian dan bagaimana bersikap kritisis terutama untuk teman-teman mahasiswa. Ketika itu saya juga sempat disuruh menghadap Korem, saya tidak mau, yang butuh kan mereka, harusnya mereka yang datang. Kemudian Dekan memanggil saya, bilang, ‘kamu keluar (negeri) sajalah.’ Akhirnya saya berangkat ke Belanda, kuliah S2 dapat beasiswa.
Kami ingin Ibu berkomentar tentang Kejaksaan. Kita mulai dengan rencana revisi UU Kejaksaan, apa pendapat Ibu?
Begini, pertanyaannya saya balik saja. ‘Apakah kinerja Kejaksaan Agung sedemikian bagusnya sehingga kita tidak perlu revisi UU?’ Sebab secara umum, persoalan integritas-nya rendah sekali. Jadi kita masih melihat ada persoalan kinerja di Kejaksaan yang belum bagus, belum lagi pengaduan-pengaduan yang menumpuk di komisi III, tentang pemerasan dan lainnya.
Menurut Ibu, bagaimana caranya agar Kejaksaan maju?
Jaksa Agung dan para petinggi Kejaksaan lainnya harus berani pasang badan untuk transformasi, reformasi. Harus mulai dari pemimpinnya, presidennya, Jaksa Agungnya atau pimpinan lainnya. Kalau presidennya benar, maka semua benar. Kita lihat waktu zamannya Jenderal Yusuf, dia mengatakan, ‘Saya tidak mau menggunakan fasilitas negara.’ Langsung  komandan dan anak buah lainnya ikut, karena contohnya baik. Lihat Jokowi dan Basuki, berikan teladan. Sekarang PNS di DKI itu malu hati, tidak mau sombong, wong pemimpinnya saja pakaian saja sederhana, naik mobil sederhana. Supir taxi bilang, ‘Sekarang PNS di DKI tidak ada lagi yang keluyuran.’ Jadi kalau saya lihat dalam masyarakat yang paternalistik seperti kita ini, pemimpin harus menjadi contoh dan biasanya yang di bawahnya ngikut. Kalau mau bangsa ini menjadi waras, cari pemimpin yang waras dan ini harus berlaku untuk semua instansi, parpol dan lainnya.
Satgasus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi Kejaksaan Agung berhasilmengembalikan uang dan aset hingga menembus angka Rp 1 triliun untuk tahun anggaran 2011-2012. Ini prestasi Kejaksaan…
Tetapi yang digelapkan berapa dulu? Saya punya catatan, saya ikuti tuh informasi Trio Macan dan lainnya. Ada aset BRI yang hilang. Ok-lah kita apresiasi, tetapi bukan berarti tidak ada masalah di dalam sana. Secara keseluruhan yang paling susah di Kejaksaan itu merit system, belum jalan tuh. Jaksa yang dihukum, kemudian dibuang ke Sumatera, tetapi dua tahun lagi dipromosikan. Jadi kalau akuntabilitas itu dilihat dari merit system ya pastinya bagus. Kita lihat juga di Kehakiman, hakim Albertina Ho yang berpretasi, harusnya kan di Jakarta, eh malah dibuang ke Pangkal Pinang. Yang jelek-jelek malah ditarik ke Jakarta.
Rencananya, Satgasus Barang Rampasan dan Sita Eksekusi di Kejaksaan itu akan ditingkatkan menjadi lembaga khusus menjadi Asset Reovery Office (ARO) yang langsung di bawah Jaksa Agung, apa pendapat Ibu?
Saya setuju. Sebagai contoh saja, di UU yang terkait terorisme, problem potensialnya penyitaan aset, siapa yang ngurus? Ya, harus ada ARO, dan harus dikelola dengan baik. Yang kelola harus orang yang tepat dan mengerti. Sekali lagi saya setuju ada ARO di Kejaksaan. Berharap kelak, semua aset yang belum diurus di negara ini dan belum dikembalikan ke negara dapat diselesaikan. Ini tantangan dan peluang untuk Kejaksaan.
Bagaimana sepak terjang pemberantasan korupsi di Kejaksaan?
Kejaksaan itu dirusak oleh orang-orangnya sendiri. Kalau mau bagus, orang-orang Kejaksaan sendiri yang harus melakukannya, jangan salahkan undang-undang atau yang lainnya. Tetapi, tidak semua orang Kejaksaan jelek, korup, terima suap, saya mengenal jaksa yang beprestasi, yang baik-baik, lurus-lurus tetapi tidak diperhatikan. Untuk pemberantasan korupsi di Kejaksaan, secara umum, saya harus mengatakan, KPK masih lebih baik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar