Sebanyak 1.200 jiwa dari 300 kepala keluarga, hidup dalam kondisi memprihatinkan di tenda-tenda pengungsian. Mereka mengadu ihwal nasib paska penggusuran mereka mempertanyakan keperdulian pemerintah atas ganti rugi rumah yang digusur dengan alat berat sejenis buldozer, pada 26 September 2013. Penggusuran dengan menyertakan seribuan aparat gabungan terdiri dari Satpol PP, Polisi, dan TNI.
"Isak tangis mewarnai pengaduan para ibu pada kami. Pihak korban menceritakan nasib mereka yang sekarang hidup di tenda darurat setelah rumah yang telah 30 tahun mereka tempati kini rata dengan tanah," kata Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Eva Kusuma Sundari, Minggu, (3/11/2013), di Jakarta.
Eva menjelaskan, rumah-rumah warga itu diakui tanpa memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), diatas tanah negara seluas 18,9 hektar. Tetapi sejak awal tanah di wilayah itu ditelantarkan oleh pemegang Hak Guna Bangunan (HGB), yaitu PT Astra Honda Motor sebagai area pabrik otomotif.
HGB dengan nomor 7393 dan 7396 berakhir tahun 2016, namun setelah diperiksa telah beralih tangan ke PT Mitra Makmur Bagya (Ciputra Group).
Menurut Eva, dua perusahaan tersebut mengambil jalan pintas dengan membeli wewenang pemkot untuk menggusur, yang dalam pelaksanaannya justru melanggar Peraturan Daerah (Perda) Kota Bekasi no 15/2012. "Pasal 37 di Perda tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan IMB, tertera sanksi pada Bangunan tanpa IMB yaitu didahului peringatan tiga kali dalam waktu tujuh hari, penyegelan selama sebulan, barulah pembongkaran dilaksanakan atas biaya APBD. Sementara UU Pembaharuan Agraria pasal enam mengingatkan bahwa pemberian HGB mensyaratkan adanya fungsi sosial atas tanah itu," kata Eva.
Dikatakan Eva, bahwa penggusuran tanggal 26 September lalu merupakan upaya pemkot membungkam proses hukum. Sebab tiga hari sebelumnya tepatnya 23 September 2013, warga telah memasukkan gugatan atas surat protes pada walikota yang dalam waktu pendek diikuti surat peringatan pengosongan kepada 300 KK terdiri sekurangnya 1200 lebih jiwa. "Karena itu penduduk amat menyesalkan pemkot yang tetap melaksanakan kemauan dua PT tersebut meski tanah sudah berstatus sebagai obyek hukum," kata Eva yang juga Anggota Komisi Hukum DPR RI. Atas persoalan ini, lanjutnya, PDI P menyesalkan sikap Pemkot Bekasi dengan tindakannya yang dzholim terhadap warga sendiri.
Ditandaskan, jika Pemkot Bekasi menghormati dan patuh pada hukum maka berkewajiban bertanggung jawab atas dampak kesejahteraan dari kebijakan penggusuran yang telah dilaksanakan. Karena semenjak digusur para korban bertempat tinggal di tenda tenda darurat tanpa bantuan sosial apapun. "Saatnya pemkot bertindak adil dalam pelayanan publik dengan meminta PT Mitra Makmur Bagya menyediakan tempat tinggal alternatif sebagaimana kasus penggusuran penduduk Kebun Banjar Priok dan penggusuran kampung Budi Dharma tahun 2006/2007," pungkas Eva.
Adapun pilihan yang lain, ujarnya, adalah memberikan uang santunan untuk modal membeli rumah kepada para korban. PDIP pun menghimbau pemerintah daerah dan pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), segera turun tangan. "Untuk menyelamatkan martabat korban, sekaligus martabat pelaksana pemerintahan menghindari kesan 'cuci tangan' atau tidak bertanggung jawab," pungkasnya. (SGd/Zein/YY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar