Jumat, 13 September 2013

Eva Kusuma Sundari “BURUNG ELANG” YANG TAK TAKUT TERBANG SENDIRI

Nama Eva Kusuma Sundari tidak asing lagi dalam perpolitikan nasional, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat. Politisi PDI Perjuangan ini satu dari perempuan yang menghiasi wajah senayan sehingga lembaga ini tampil lebih enerjik dan anggun. Bukan itu saja, Eva-demikian ia biasa disapa-menjadikan perdebatan diruang siding menjadi lebih maskulin karena sangat bernas, terbuka dan logis. Ia mengelola emosi, dan tidak meledak-ledak ketimbang politisi laki-laki kebanyakan.
Politisi kelahiran nganjuk, Jawa Timur, 8 Oktober 1965 ini mulai diperhitungkan ketika getol memperjuangkan kasus Bank Century-sebuah kasus yang merugikan negara trilliunan rupiah. Saking intensnya, Eva sering dipanggil dengan embel-embel “Eva Bank Century”. “Eh saya jadi terkenal. Orang sering menyapa, Bu Eva yang Century itu ya…haha. Saya bangga karena public mengapresiasi kinerja tim PDI Perjuangan saat itu dan saya menulis buku tipis sebagai laporan ke Fraksi dan DPP” ujarnya kepada Majalah Lider.
Jebolan Magister Economics and Development Economics Faculty of Economics, University of Nottingham, Inggris, 2000 dan Magister Politics of Altenative Development Strategy, Institut of Social Studies, The Hague, Belanda, 1996 ini tampil tanpa tending aling-laing. Bicaranya keras, tegas dan tidak takut-walau bersebrangan dengan kekuatan besar dan penganut kekerasan fisik sekalipun. Sikapnya yang tak kenal kompromi terhadap kebenaran itu, tak ayal membuat keluarganya kuatir. “Takutlah, karena mereka (FPI) kan penganut kekerasan (baik verbal maupun fisik) dan tidak sungkan melakukan pelanggaran hukum atas nama agama. Tapi saya lebih takut jika kita semua berhasil ditakuti, dibungkam dan akhirnya mentoleransi kekerasan atas nama agama (apapun), “ujar istri diplomat Timor Leste, Jose Antonio Amorim Dias.
Walau demikian, rasa takut itu harus kalah oleh tanggung jawabnya sebagai politisi, yang harus bicara lantang dan menunjuk sikap tegas menolak terhadap berbagai bentuk kekerasan. Pengagum Bung Karno dan Gandhi ini terus mengkritisi berbagai ketidakberesan yang ada dalam masyarakat, dan dunia politik khususnya. Ia ibarat “elang yang tidak takut walau terbang sendirian”.

Bagaimana perjalanan singkat karier Anda hingga menjadi politisi di senayan yang mewakili PDI Perjuangan?
Saya tidak akan bias masuk politik tanpa adanya kebijakan afirmasi kuota perempuan di Pemilu 2004. Bu Tjip (istri alm Sekjen PDIP, Pak Sutjipto) meminta Mas Pramono Anung  (Wasekjen saat itu) untuk merekrtu saya karena saya aktif menjadi trainer pelatihan-pelatihan politik untuk kader-kader perempuanpartai politik.  Latar belakang pendidikan, profesi dosen FE Unair, peneliti isu-isu gender (kompetensi) menjadi dasar pertimbangan perekrutan terhadap saya. Pada pemilu 2004 saya mewakili Dapil Jatim 5 Malang Raya.

Bagaimana pengalaman pertama Anda di Senayan?
Selama priode pertama saya sudah menerima tugas cukup berat, dimulai dari anggota panitia khusus (pansus) UU Trafiking dan pornografi, anggota Banggar, dan termasuk mendirikan BAKN (Badan Akuntabilitas Keuangan Negara) sebagai jawaban keluhan masyarakat atas tidak adanya peran DPR dalam skema pemberantasan korupsi. Pemilu 2009 saya dipindah  Dapil ke Jatim 6 (Blitar-Kediri-Tulungagung) dan Alhamdulillah di pemilu 2014 Dapil saya tetap. Sepanjang bertugas untuk dua priode di Senayan saya ditempatkan di Komisi III. Kemudian, ditempatkan di Komisi XI, namun tidak lama karena hanya setahun lalu balik lagi ke Komisi III. Saya juga merupakan anggota BAKN.

Parameter Majalah Lider untuk seorang pemimpin dibidang apapun adalah integritas profesionalitas dan personalitas. Bagaimana Anda memaknai ketiga keutamaan tersebut sepanjang karier Anda?
Integritas adalah kombinasi antara moralitas dan profesionalitas. Artinya kompensasi dan moralitas harus saling melengkapi, tapi dua-duanya harus ada karena merupakan satu-kesatuan tidak terpisahkan. Bagi saya tiga factor itu (integritas, profesionalitas, dan personalitas) bersama-sama berfungsi sebagai input, yang akan menentukan output dan outcome kerja-kerja termasuk kepemimpinan politik.
Untuk konteks Indonesia yang masih korup, misalnya, harapan rakyat terhadap pemimpin yang memiliki kualifikasi integritas merupakan factor penting karena pemimpin harus menyelesaikan masalah bangsa (korupsi) bukan justru bagian dari masalah (ikut korup). Moralitas penting. Tapi pemaknaan moralitas harus luas, tidak cukup berupa aksesori moralitas individu (misalnya title haji, baju muslim, suka pakai bahasa arab). Moralitas harus sampai pada social religious yakni tidak korup, memelihara persatuan, belas kasih kesesama, adil, jujur dan nasionalis (cinta rakyat/NKRI). Dengan kata lain, habluminallah dan habluminannas berimbang.
Terkait personality, menurut saya, setelah kepungan politik pencitraan, rakyat rindu sesuatu yang murni, polos, jujur tanpa polesan. Seorang pemimpin yang bukan “setengah dewa” sempurna fisiknya, intelektual pintar berwacana tapi miskin tindakan nyata dan unreachable bagi rakyat.
Sosok Jokowi nyelonong menjawab sosok yang dirindukan rakyat, menjadi alternative karena keriteria-keriteria personality yang menyegarkan rakyat yang sudah jemu. Salah seorang senior PNI mengingatkan saya supaya menjadi pemimpin seperti bung Karno, pemimpin yang bias menjadi ikan di empang atau menjadi burung dihutan. Beliau melihat Jokowi sebagai model kepemimpinan ala bung Karno. Cuma bedanya kalo Bung Karno berapi-api, kalau Jokowi nglewes santai. Tapi keduanya memiliki kesamaan karakter yaitu sama-sama mencintai rakyat.
Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa pemimpin itu diciptakan dan bukan dilahirkan. Namun, pemimpin itu tidak bias dibuat-buat seperti ala pencitraan. Rakyat akan tahu mana yang polesan dan mana yang genuine, karena ketulusan juga faktor baru yang dituntut rakyat.

Sepanjang berkarier dibidang politik, adakah moment historic yang membawa Anda keposisi sekarang ini?
Sepertinya tidak ada kejutan dalam karier saya. Semua predictable berbasis pada indicator peforma yang terukur. Saya bekerja keras, professional, bicara ke media dan serius menjalin komunikasi politik dengan konstituen. Kerja-kerja pun transparan dan akuntable. Nilai-nilai itu yang dengan sadar saya gunakan untuk bekerja karena saya tahu diri saya tidak punya faktor-faktor lain sehingga saya diistimewakan. Saya mengandalkan kinerja yang baik. Saya terlahir dari keluarga pekerja. Kedua orang tua saya PNS guru. Sederhana tapi tidak pernah kekurangan karena ibu saya pintar mengakali keadaan, Kedua orang tua membuat buku-buku SMA dan memberikan les-les Bahas Inggris untuk tambahan penghasilan.
Saya gembira dan terhormat fraksi memberikan tugas-tugas penting seperti di pansus-pansus BBM, DPT, dan yang fenomenal adalah Pansus Bank Century yang mendapat banyak perhatian dan liputan media intensif terutama oleh televisi. Eh saya jadi terkenal. Orang sering menyapa, Bu Eva yang Century itu ya….haha. saya bangga karena public menapresiasi kenerja tim PDIP saat itu dan syaa menulis buku tipis sebagai laporan ke fraksi dan DPP.

BUTUH IDE PROGRSIF
Sejak era reformasi, system politik bergeser dari parliamentary heavy menjadi executive heavy. Presiden diberi hak yang lebih besar misalnya menyusun anggaran belanja (RAPBN). Walau system yang kita anut telah menjadi presidensial, namun presiden diberi kewenangan yang minimal. DPR masih memiliki kewenangan yang besar sehingga bias memveto kebijakan pemerintah (Presiden). Karena itu, ada pengamat secara jenaka menyebutkan bahwa system politik yang dianut Indonesia adalah “system presidensial bercitaras parlementer”.
Peran dan fungsi parlemen dan partai politik masih sangat kuat. Hal itu bias positif jika DPR benar-benar menjalankan fungsi check and balance. Namun, yang terjadi, parlemen gagal menjalankan fungsinya secara maksimal. DPR hanya mengejar setoran kepada partai politik dan mengisi pundi-pundi pribadi, tetapi miskin gagasan pembaharuan yang justru sangat dibutuhkan. Parlemen dan prati politik tidak mampu menelorkan ide-ide progrsif.
Namun, kita masih bias berharap karena Senayan masih memiliki wakil rakyat yang memiliki ide-ide progrsif. Salah satunya Eva Sundari. “Saya memimpikan peran parpol di Skandinavia yang mengusung ide-ide progresif dan transformasi masyarakat”, ujarnya.

Kita membagi tiga bidang kepemimpinan di negeri ini yakni ekonomi dan pemimpin dalam bidang budaya. Dengan memilih bidang politik, bagaimana Anda melihat kemimpinan dalam bidang politik itu harus difungsikan?
Politik di era reformasi memegang peranan sentral. Lihat saja betapa dominannya pengaruh parpol saat ini baik di eksekutif bahkan di legislative. Artinya, parpol-parpol berpeluang menjadi lokomotif bagi transformasi RI tetapi disaat yang sama bisa membawa arah demokrasi kehal yang sebaliknya.

Lantas, apa yang harus dilakukan untuk menghindari hal itu?
Kekuasaan yang besar di parpol harus dikelola oleh kepemimpinan politik yang transformative menuju demokrasi yang makin substantive, tata pemerintahan yang makin baik, penegakan hukum yang makin berwibawa dan berkeadilan. Pendeknya rakyat masa kini (dan masa depan) menjadi semakin sejahtera karena keputusan-keputusan politik yang cerdas, visioner dan akuntable saat ini.
Saya memimpikan peran parpol di Skandinavia yang mengusung ide-ide progresif untuk transformasi masyarakat seperti ide dan konsep kesetaraan gender dengan system pemilu close system dan candidate list 50% kuota perempuan, green economy, CSR, Transitional Justice, Anti Korupsi dan lain-lain. Ide-ide progresif di Indonesia justru diusung oleh LSM. Hal ini membuat implementasinya sangat lamban sekali karena kekuatan politik justru berada dipartai-partai politik. Kita prihatin terhadap fakta bahwa parpol-parpol memimpin system politik tapi miskin ide-ide progresif sehingga belum berdampak signifikan pada transformasi masyarakat.

Sebagai anggota komisi III DPR RI, apa yang paling meresahkan Anda saat ini? Dan bagaimana Anda menyikapinya?
Intoleransi, korupsi, impunity. Saya kombinasikan antara teori dan praksis sehingga sering melakukan advokasi-advokasi karena pada akhirnya dinilai dari perbuatannya bukan statementnya. Sementara, pemikiran/statement yang bernas sering merupakan abstraksi dari realitas di lapangan, kata-kata tanpa diikuti perbuatan yang sama, jadinya seperti orang meracau. Hindarkan mengumbar kata-kata tanpa makna. Bagi saya afeksi itu enerji karena berpolitik bukan semata-mata aktifitas intelektual tapi dialektika yang melibatkan ide (konstitusi, ketatanegaraan) dan prkasis.
Oleh karenanya saya nyemplung dibeberapa kaukus untuk keprihatinan saya diatas. Saat ini saya ketua kaukus ASEAN untuk HAM, anggota GOPAC (Global Organization of Parliament for Anti-Corruption), Anggota PGA (Parliament for Global Action) yang bekerja untuk ratifikasi ICC-International Court for Crime demi menghapus impunitas, selain itu masih tercatat sebagai anggota kaukus Palestina sejak 2009.

Soal kesetaraan, kami melihat Anda sangat gigih memperjuangkannya. Apa sesungguhnya esensi perjuangan kesetaraaan ini?
Parlemen kan bekerja untuk rakyat, warga negara, yaitu manusia. Indicator kemanusiaan itu martabat. Jadi kerja-kerja politik diparleme harus dimuarakan pada menjaga martabat kemanusiaan manusia/rakyat. Jangan sampai kita mendiamkan, membiarkan bahkan menjadi penyebab turunnya martabat kemanusiaan rakyat. Praktek diskriminasi, kekerasan, maupun kemiskinan (termasuk akibat korupsi) merupakan sumber perlakuakn tidak adil yang merendahkan martabat manusia WNI. Jangan lupa bahwa baik pelaku maupun korban (korupsi, diskriminasi, kekerasan) sama-sama harus diselamatkan martabat kemanusiaannya. Sehingga, kekerasan, korupsi, diskriminasi harus dihentikan demi menjaga martabat kemanusiaan kita.

Dalam beberapa kasus bahkan Anda harus head to head dengan FPI. Sebagai perempuan yang juga dari etnis jawa, apakah Anda tidak takut?
Takutlah karena mereka (FPI) kan penganut kekerasan (baik verbal maupun fisik) dan tidak sungkan melakukan pelanggaran hukum atas nama agama. Tapi saya lebih takut jika kita semua berhasil ditakuti, dibungkam dan akhirnya mentoleransi kekerasan atas nama agama (apapun). Sebagai politisi saya harus angkat bicara, menunjukkan sikap menolak berbagai bentuk kekerasan. Saya juga berbicara keras soal TKI, gender, dan militerisme.  Jika para pemimpin diam dan mendiamkan maka rakyat dan para korban kehilangan harapan dan negara dikalahkan oleh premanisme.

Ironisnya ada tokoh yang terang-terangan membela FPI?
Saya prihatin dengan menteri agama yang justru pernyataan-pernyataannya terkesan membela FPI meski aksi-aksi FPI berwatak kekerasan dan sudh menimbulakn banyak korban. Jika pertimbangan beliau takut kehilangan suara FPI untuk partainya, ini tragedi bagi rakyat. Saya amat berharap duit milliaran rupiah di Kementrian Agama untuk program bimbingan masyarakat digunakan untuk membina FPI agar menghayati dan menghormati hukum, negara, konstitusi, 4 pilar sehingga Islam menjadi feminism, lembut dan mewujudkan rahmatan lil alamin.
Saya juga berharap Menteri Agama terganggu dan turun tangan dan membina umat Islam Indonesia (HTI, FPI, dan MMI) yang mengagendakan perjuangan khilafah yang jelas-jelas bertentangan dengan 4 pilar berbangsa dan bernegara. Membela dan mencintai tanah air tidak bertentangan dengan Islam bahkan bagian dari iman seperti saya kutip dari KH Hasym Ashary dan putranya Wahid Hasym.

Siapa yang menginspirasi Anda sehingga memiliki keberanian seperti itu? Apakah orang tua, suami atau siapa?
Tidak ada. Bawaan Lahir. Semua keluarga mendukung walau dengan ketar ketir sih. Sejak kecil ibu saya sudah kaget-kaget dengan prilaku saya. Kelas 1 SMP, kalau jam kosong saya “ngajar: bahasa Inggris” didepan kelas. Saya jarang dirumah karena banyak hobi dan ketua ini itu-Pramuka, Silat, PMR, OSIS, Pecinta Alam, BPM, Senat Mahasiswa, GMNI. Gak ada waktu pacaran karena bapak saya melarang keras pacaran walau saya didunia yang dominan cowok.
Laki-laki yang menginspirasi saya tidak dari lingkungan keluarga tetapi Bung Karno dan Gandhi. Itu kombinasi asyik “Yin-Yang” seperti halnya tokoh perempuan idola saya Kartini dan Cut Nyak Dien. Saya menemukan kesamaan dari mereka: Nasionalis, Cerdas, keras hati dan kepala terhadap keyakinan. Mereka elang, tidak takut terbang sendirian.

Dari bursa capres yang bermunculan akhir-akhir ini, siapa yang menurut Anda paling cocok memimpin Indonesia pasca 2014?
Soal capres masih jauh, masih banyak kemungkinan kejutan kalau kita bicara tokoh saat ini. Yang jelas saya ingin dan mendukung kader PDI Perjuangan untuk memimpin negara ini. Jika saat ini rakyat menginginkan Ketum (Megawati Soekarnoputri,red) dan Jokwi (Joko Widodo, Gubernur DKI) saya melihat banyak juga kader yang sekualitas Jokowi di PDI Perjuangan. Sebenarnya saya mimpi kita meninggalkan kesadaran mistis soal  “satriyo piningit” yang pendekatannya individu bukan pendekatan system. Kita harus tinggalkan ketergantungan pada individu pemimpin sebagai penyelesaian masalah. Kita tata system sehingga siapapun presidennya, arah itu tetap, bukan berdasarkan selera individu presiden yang risikonya gak nyambung antar presiden.

PDI Perjuangan hingga saat ini belum “panaskan mesin” untuk kompetisi capres?
Saya malah bersykur PDI Perjuangan tidak ikut gaduh soal pencapresan tapi focus ke PILEG karena ingin memperkuat sistem/gerbong. Ini jalan sunyi dan diluar mainstream sehingga orang-orang jadi tidak sabar karena PDI Perjuangan kok tidak ikut-ikutan berlayar diperahu mereka. Padahal, PDI Perjuangan kan sudah ada workplan sendiri yaitu hasil kongres Bali 2010 termasuk soal pencapresan. Walau saya yakin pemimpin PDI Perjuangan terus waspada mengikuti dinamika di arena politik.

Disarikan dari wawan cara Eva Sundari dengan Majalah LIDER INDONESIA SATU pada edisi Nomor 9, Tahun II, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar