Rabu, 01 Juni 2016

Perlu Panduan Pro-konstitusi dan Kesetaraan Gender dalam Legal Drafting (pembuatan UU) demi Mencapai Target SDGs

Eva K Sundari (kanan) bersama Rochiatul Aswida
Komnas Ham (tengah) dan Tantowi Yahya (Kiri)
Kegagalan Indonesia mencapai target-target dalam MDGs (Millennium Development Goals) menunjukkan lemahnya perspektif gender dalam politik pembangunan kita. Ironisnya, pembentukan Tim koordinasi pencapaian SDGs (Sustainable  Development Goals) oleh Pemerintah dibentuk tanpa memperbaiki problem paradigmatik ini terlebih dulu.

Semua upaya pemberdayaan perempuan di bidang ekonomi, sosial, politik, kesehatan dan lain-lain akan percuma jika tidak terlebih dahulu negara menjamin sexual dan reproduction rights. Maraknya perkosaan terhadap perempuan dan anak-anak merupakan peringatan resiko Kegagalan pencapaian target SDGs jika syarat pokok (sufficient conditions) tidak diwujudkan pula.

Soal perlindungan terhadap hak seksual dan reproduksi peremp ini masih jadi penghambat dalam tercapainya Keadilan gender (gender justice) di Indonesia. Hal ini menjadi topik dalam diskusi di symposium internasional oleh BKSAP bertema Gender Justice in Implementation and Challenges, siang tadi (26/5/16) di DPR. Mewujudkan  gender justice ini masih menjadi problem serius di Indonesia, menurut Eva Kusuma Sundari. Di tingkat content of law, belum ada tata beracara khusus untuk  kejahatan sexual, sehinggakaukus perempuan parlemen mengusulkan  adanya UU PKS (penghapusan kejahatan sexual).

Situasi di ranah content ini menjadi semakin memburuk dengan adanya 389 perda yang diskriminatif terhadap perempuan atas nama agama. Dr Indraswati dari Komnas Perempuan menjelaskan bahwa hal ini menunjukkan perempuan masih sebagai warga kelas dua, dijadikan obyek yang dikontrol, diatur, dibatasi, dan dirampas otoritas mereka terhadap tubuhnya walau tujuan perda-perda tersebut disebut sebagai perlindungan terhadap perempuan.

Problem serius juga ada di ranah kultur hukum berupa maraknya militarism dan radikalisme yang terwujud pada aksi-aksi di luar hukum (outlaw) sehingga posisi perempuan makin terdesak. Tidak heran jika kemudian struktur pelaksana hukum (structure of law) termasuk birokrat dan politisi bersuara sama, yaitu bernada misogynis (membenci perempuan) dengan menjadikan perempuan sasaran yang dipersalahkan walau di posisi korban.

Eva Sundari mengusulkan Badan Legislatif dan Pemerintah menyusun panduan bersama untuk memastikan perspective konstitusi dan pro gender equality bisa diintegrasikan. Sehingga, tidak saja UU dapat lolos dari  pembatalan MK tapi juga menjamin gender justice demi  mencapai target SDGs. Memasukkan Komnas Perempuan ke dalam  Tim Legislasi Pemerintah (Menkumham) juga perlu agar isu gender menjadi arus utama bukan diperlakukan sebagai isu sektoral.

Jkt, 26/5/16, Eva K Sundari Kom XI dan KPPRI (kaukus peremp parlemen)  FPDIP DPR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar