Selasa, 24 Mei 2016

Kebijakan Negara Menghambat Pengembangan Organisasi Penghayat Kepercayaan

Kebijakan negara merupakan salah satu  faktor struktural utama pemicu menyusutnya jumlah organisasi-organisasi kelompok  penghayat/agama-agama nusantara. Sebagaimana data di Kemendikbud penyusutan tersebut hingga sebesar 83% dalam 32 th yaitu dari 1057 organisasi di th 1984 menjadi 182 org di th 2016.

Menghilangnya organisasi-oragnisasi tersebut dimulai ketika negara melakukan pengaturan yang justru berdampak efektif sebagai pengontrolan atau pengendalian perkembangan organisasi penghayat kepercayaan/agama-agama lokal Nusantara. Penciptaan Direktorat Penghayat di bawah naungan Kementrian Pariwisata (dan bukan di Kementerian Agama) pada dasarnya pereduksian peran agama lokal dari tuntunan menjadi sekedar tontonan. Ini merupakan tindakan diskriminasi awal dari negara sekaligus delegitimasi terhadap agama-agama lokal Nusantara. Saat ini direktorat penghayat di Kemendikbud tetapi di Jawa Timur, urusan penghayat masuk ke dalam Dinas Pariwisata.

Bagi kelompok penghayat, pukulan paling telak adalah diskriminasi negara akibat UU Adminduk. Meski seblmnya sudah ada putusan MK bahwa tidak seharusnya ada istilah agama resmi (dan ada yang tidak resmi), tetapi di UU Adminduk ada pasal tentang hal tersebut yang terwujud dalam pengisian KTP.

Pengosongan maupun penandaan strip di kolom agama di KTP para penghayat, faktanya merupakan proses pemiskinan bagi mereka. Perkawinan yang dilaksanakan secara tata cara agama Nusantara, sering tidak diakui oleh petugas kantor pencatatan sipil sehingga perkawinan para penghayat tidak sah di hadapan negara. Rumah Tangga mereka sering tidak dapat mengakses program-program perlindungan sosial yang dikeluarkan pemerintah.

Status perkawinan yang tidak 'sah' tersebut menyebabkan anak tidak punya sertifikat kelahiran, yang sering dijadikan alasan untuk tidak menerima  jatah dana BOS. Anak-anak penghayat juga tidak mendapat pelajaran agama sesuai yang diyakini dan sering dipaksa mengikuti agama mayoritas setempat. Dalam situasi 'penolakan' sekaligus intimidasi dari lingkungan yang demikian tentu berdampak negatif pada pertumbuhan emosi siswa. Praktis, kebijakan negara yang demikan tidak memberi ruang dan peluang bagi pengembangan organisasi dan nilai-nilai ajaran budaya Nusantara.

Kisah sedih tersebut terungkap di lokakarya Tantangan dan Peran Perempuan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME yang dilaksanakan oleh MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) Jatim di Malang pada Minggu, 22/5/16 kemarin. Dalam pidato Pembukaan, Direktur Penghayat Kemendikbud, Sri Hartini menginformasikan bahwa pemerintah sudah menyiapkan permendikbud agar sekolah-sekolah memenuhi hak anak untuk mendapat Pelajaran agama sesuai keyakinan siswa termasuk pemeluk agama Nusantara.

Terhadap tuntutan pencantuman 'penghayat (kepada Tuhan YME)' dalam kolom agama di ktp, kewenangan ada di Kemendagri. Dalam hal ini Eva Sundari mengusulkan agar MLKI mempertimbangkan upaya hukum ke MK mengingat MLKI memenuhi syarat legal standing mewakili para korban akibat pemberlakuan pasal agama resmi dan tdk resmi di UU Adminduk.

Saatnya negara memberikan perlindungan nyata bagi kelompok agama minoritas penghayat yang kesulitan mengembangkan nilai-nilai dan ajaran agama nusantara. Proteksi negara kepada penghayat akan merupakan perwujudan amanat pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan beragama sekaligus memenuhi amanat Tri Sakti terkait pengembangan kebudayaan yang berkepribadian.

23/5/16,
Eva Kusuma Sundari - angg kom XI FPDIP, Koord Kaukus Pancasila DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar