Senin, 04 April 2016

Eva Sesalkan Polisi Jadi "Aparat" Kelompok Intoleran

Yogyakarta, Antara Jateng - Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Dra. Eva Kusuma Sundari, M.A., M.D.E. menyesalkan polisi sudah menjadi "aparat" kelompok intoleran daripada melaksanakan perintah undang-undang.

"Polisi sudah menjadi alat perampasan hak asasi manusia (HAM) atas dasar prasangka kelompok intoleran yang jelas melanggar hukum," kata Eva K. Sundari kepada Antara Jateng di Yogyakarta, Senin.

Eva yang juga Koordinator Kaukus Pancasila lantas menyebutkan sejumlah insiden pelarangan acara dalam setahun terakhir, antara lain diskusi mengenai 1965 dan pemutaran film Senyap karya Joshua Oppenheimer di Yogyakarta, Januari sampai dengan Februari 2015.

Pertemuan korban atau penyintas 1965 oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan yang diintimidasi, didatangi, bahkan rumahnya digeledah di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada bulan Februari 2015.

Berikutnya, kata Eva, intimidasi terhadap pertemuan korban 1965 di Kota Salatiga, Jawa Tengah, yang diselenggarakan pada tanggal 7 sampai dengan 8 Agustus 2015, kemudian pencekalan Tom Illyas, penyintas 1965 yang selama ini menjadi eksil atau "exile" (terasing) di Eropa pada tanggal 11 Oktober 2015.

Selain itu, penarikan majalah edisi Salatiga Kota Merah dan intimidasi redaksi yang diterbitkan oleh LPM Lentera, Oktober 2015; pelarangan diskusi 1965 di Ubud Writers Readers Festival di Bali, akhir Oktober dan awal November 2015.

Kejadian lainnya, pelarangan pembacaan naskah drama 50 tahun memori 1965 di Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Kapolda Metro Jaya pada bulan Desember 2015; lokakarya LGBT di Hotel Cemara Jakarta dibubarkan polisi karena alasan keamanan dari serbuan FPI; intimidasi FUI dan dua kali pembatalan pada nonton bareng dan diskusi IPT65 "65 Hari Ini" di Yogyakarta selama Februari 2016.

"Tidak hanya itu, juga intimidasi dan interogasi aparat terhadap tim kecil riset dokumenter Peace Women Across the Globe (PWAG) Indonesia di Padang Pariaman pada tanggal 16 Februari 2016," kata Eva yang pernah sebagai anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI.

Begitu pula, lanjut Eva, pelarangan dan protes terhadap Festival Belok Kiri yang seharusnya dilaksanakan di TIM pada tanggal 27 Februari sampai dengan 5 Maret 2016, kemudian dipindahkan ke Kantor LBH Jakarta dan tetap dijalankan sepanjang akhir pekan Maret 2016.

Pada bulan Maret 2016, kata Eva, ada pelarangan pemutaran film Pulau Buru: Tanah Air Beta karya Rahung Nasution. "Film itu seharusnya diputar di pusat kebudayaan Goethe Haus, tetapi kemudian dipindah ke Kantor Komnas HAM," katanya.

Pada bulan yang sama, tepatnya 23 Maret 2016, intimidasi dan pelarangan pementasan teater Monolog Tan Malaka di IFI Bandung, Jawa Barat, 23 Maret 2016, oleh FPI. Setelah Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menambah personel keamanan, pementasan bisa dilakukan pada tanggal 24 Maret 2016.

Selanjutnya, pada tanggal 27 Maret 2016, aksi pantomim Wanggi Hoediyanto dihentikan polisi karena alasan tidak ada izin. Penyelenggaraannya bertepatan dengan Hari Tubuh Internasional. "Yang bersangkutan kemudian diperiksa di kepolisian," tuturnya.

Acara diskusi oleh HMI Pekanbaru diancam dan dilarang oleh FPI dan Koordinator HMI Pekanbaru Safwan dibawa oleh FPI tanpa kejelasan, kemudian acara Lady Fast yang diadakan Kolektif Betina di Yogya, Sabtu (2/4) malam, dibubarkan ormas dan KOKAM dengan alasan peredaran alkohol dan baju.

"Bukan tugas ormas untuk menegakkan hukum, polisi justru harusnya menangkap mereka yang 'sweeping'," kata Eva K. Sundari.


Editor: D.Dj. Kliwantoro
 sumber : http://www.antarajateng.com/detail/-eva-sesalkan-polisi-jadi-aparat-kelompok-intoleran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar