RMOL. Konflik di Timur Tengah berimbas ke negara-negara muslim
secara langsung maupun tidak langsung, termasuk Indonesia. Gerakan
intoleransi atas nama agama pun menguat, dengan target kelompok-kelompok
minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Nasrani, penghayat dan yang
terakhir kelompok LGBT.
Demikian disampaikan politikus PDI
Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, dalam Konferensi Women's Empowerment and
Sustainable Development di Rabat, Maroko (Rabu, 9/3).
Eva
melanjutkan, kelompok intolernasi ini sering menggunakan kekerasan, baik
fisik maupun simbolik. Di Indonesia kelompok minoritas perempuan
menjadi korban dari 900-an Perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
Eva pun membenarkan bahwa intoleransi ini merupakan trend global, dan
hal ini didesain, direncanakam dan dibiayai sehingga memenuhi unsur
terstruktur, sistemik dan massif.
Eva memberi saran agar
perempuan muslim menganalisis situasi perempuan dalam konteks global
sehingga rekomendasi-rekomendasi untuk pencapaian target-target SDGs
lebih realistik dan komprehensif. Selain hal di atas, Eva Sundari juga
mengusulkan aliansi untuk mengintegrasikan perspektif Islam guna
mendukung pencapaian SDGs secara efektif.
"Penolakan MUI
terhadap upaya menaikkan batas umur menikah perempuan dari 16 menjadi 18
tahun ternyata juga terjadi di bebarapa negara Islam lainnya. Ini
memprihatinkan karena riset membuktikan bahwa hal tersebut adalah faktor
signifikan penyebab tingginya angka kematian ibu hamil atau
melahirkan," jelas Eva.
Penggunaan argumen Islam yang pro
perempuan dalam mendukung MDGs, lanjut Eva, juga sangat mendesak
mengingat beberapa organisasi Islam juga tidak mentoleransi prinsip
keseteraan gender sehingga kelompok perempuan muslim dari Pakistan
berjuang keras meloloskan UU KDRT baru-baru ini termasuk membuat
kebijakan insentif bagi perempuan di dunia kerja. [ysa]
http://www.rmol.co/read/2016/03/09/238807/Masalah-Perempuan-Tak-Lepas-Dari-Konstalasi-Konflik-Dunia-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar