Kamis, 10 Maret 2016

RMOL. Konflik di Timur Tengah berimbas ke negara-negara muslim secara langsung maupun tidak langsung, termasuk Indonesia. Gerakan intoleransi atas nama agama pun menguat, dengan target kelompok-kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah, Nasrani, penghayat dan yang terakhir kelompok LGBT.

Demikian disampaikan politikus PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, dalam Konferensi Women's Empowerment and Sustainable Development di Rabat, Maroko (Rabu, 9/3).

Eva melanjutkan, kelompok intolernasi ini sering menggunakan kekerasan, baik fisik maupun simbolik. Di Indonesia kelompok minoritas perempuan menjadi korban dari 900-an Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Eva pun membenarkan bahwa intoleransi ini merupakan trend global, dan hal ini didesain, direncanakam dan dibiayai sehingga memenuhi unsur terstruktur, sistemik dan massif.

Eva memberi saran agar perempuan muslim menganalisis situasi perempuan dalam konteks global sehingga rekomendasi-rekomendasi untuk pencapaian target-target SDGs lebih realistik dan komprehensif. Selain hal di atas, Eva Sundari juga mengusulkan aliansi untuk mengintegrasikan perspektif Islam guna mendukung pencapaian SDGs secara efektif.

"Penolakan MUI terhadap upaya menaikkan batas umur menikah perempuan dari 16 menjadi 18 tahun ternyata juga terjadi di bebarapa negara Islam lainnya. Ini memprihatinkan karena riset membuktikan bahwa hal tersebut adalah faktor signifikan penyebab tingginya angka kematian ibu hamil atau melahirkan," jelas Eva.

Penggunaan argumen Islam yang pro perempuan dalam mendukung MDGs, lanjut Eva, juga sangat mendesak mengingat beberapa organisasi Islam juga tidak mentoleransi  prinsip keseteraan gender sehingga kelompok perempuan muslim dari Pakistan berjuang keras meloloskan UU KDRT baru-baru ini termasuk membuat kebijakan insentif bagi perempuan di dunia kerja. [ysa]

http://www.rmol.co/read/2016/03/09/238807/Masalah-Perempuan-Tak-Lepas-Dari-Konstalasi-Konflik-Dunia- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar