Sebagai seorang feminist nasionalist, saya risau dengan HDI,
GDI, GEM, AKI, sexual crime thd perempuan dan anak2 yang memburuk. Pertumbuhan
ekonomi yang di kisaran 6% tdk menghentikan arus trafiking para ibu-ibu dan
anak-anak sebagaimana wilfrida.
Sebagai seorang politisi aku mules melihat para kolega dan
seniorku politisi penguasa daerah menutupi lokalisasi-lokalisasi tanpa transisi
profesi yang berkelanjutan. Ketika kemiskinan daerah tidak diselesaikan,
keduanya menjadi pendorong para perempuan dari dapilku untuk pergi ke
daerah-daerah tambang di Kalimantan, Suawesi dan Papua untuk memperdagangkan
tubuhnya dengan sukarela maupun sebagai korban penipuan para agen-agen rekruter.
Sebagai anggota Komisi III DPR RI dan anggota Tim
Sosialisasi 4 pilar MPR, saya risau
dengan fakta bahwa th 2013 ada 181 gugatan yang dikabulkan MK atas berbagai UU
produksi DPR karena tidak sesuai konstitusi. Agak ironis sebagai penyelenggara
sosialisasi 4 pilar tetap gagal mengintegrasikannya ke dalam tugas utama
sebagai legislator.
Sebagai anggota Komisi III sekaligus Ketua Kaukus HAM
Parlemen ASEAN, saya sedih mendapatkan laporan Komnas Ham tentang kekerasan
akibat konflik atas sumberdaya alam yang mencapai hampir 2 ribu/th dengan trend
yang meningkat. Penegakkan hukum di daerah yang tidak memihak rakyat membuat
mereka berduyun-duyun ke DPR sehunga permintaan dan pengaduan masyarakat di
Komisi III terjadwal sebanyak 200an.
Situasi alinasi rakyat terhadap sumberdaya yang demikian
juga berlangsung di Negara-negara
anggota ASEAN lainnya terutama Myanmar, Kamboja, Vietnam dan Laos.
Perampasan tanah, penghilangan aktivis, pengungsian internal, trafiking dll
merupakan ongkos dari agenda tunggal ASEAN berupa pengintegrasian perekonomian
ASEAN. Perburuan terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan diprioritaskan at any
cost termasuk terhadap HAM rakyat. ASEAN memilih fokus pada skema promosi HAM
dan menolak melakukan penegakkan HAM jika ada kasus-kasus yang terjadi. Ini
anomali dan kemunduran dibanding kerjasama kawasan terutama EU dan Mercosur di
Latin Amerika.
Kegusaran saya juga terkait hak-hak kelompok minoritas untuk
menikmati jaminan kebebasan beribadah. Sabotase negara untuk para elit untuk
memihak salah satu golongan menyebabkan konflik berlatar belakang agama
memburuk. Keaktifan Menteri Agama untuk mempropagandakan penyesatan Ahmadiyah
pada masa lalu tampaknya sedang dilanjutkan ke kelompok Syiah. Ketika hakim
sudah tidak netral, maka ini pengkhianatan terhadap amanat konstitusi pasal 29.
Indonesia harus keluar dari situasi critical point di atas,
dimulai dari tekad kita untuk
mengganyang korupsi dalam berbagai bentuknya. Yang paling utama adalah
korupsi terhadap mandat konstitusi yang sudah dibajak agenda WTO. Sialnya,
implementasi agenda bajakan tersebut dijalankan secara korup. Laporan BPK, KPK,
PPATK dan BAKN menegaskan bahwa selain korupsi meluas dan bentuknya canggih
maka dilakukan oleh actor-aktor baru (regenerasi).
Para pemilih dapat mengakhiri siklus pembusukan berbangsa
dan berpemerintahan itu melalui pemilu. Kecerdasan para pemilih akan menentukan
bukan saja menentukan siapa yang akan terpilih tapi juga bagaimana mereka
terpilih. Para pemimpin korup akan menghalalkan cara menang yang korup. Pemilih
harus menjadikan pilkada DKI sebagai rujukan bahwa pemilih berdaulat sehingga
mampu menghentikan upaya-upaya
pencurangan pilkada. Kedaulatan di tangan rakyat harus bisa dibuktikan
di pemilu 2014.
Pemilu 2014 adalah pertaruhan jalan keluar dari
kemunduran-kemunduran dan ketersesatan untuk kembali ke jalan konstitusi untuk
memenangkan amanat penderitaan rakyat. Kedaulatan rakyat pemilih adalah
satu2nya harapan penyelamatan bangsa. Pemilu 2014 adalah pisau bermata dua,
bisa menusuk diri sendiri atau ke kekuatan gelap yang memblokade jalan
kemakmuran, jalan konstitusi. Kita serahkan nasib bangsa ini ke rakyat pemilih.
(WH/MK)
Penulis : Eva Kusuma Sundari (Anggota DPR RI Komisi
III/PDIP/Aktifis Perempuan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar