Eva Kusuma Sundari
Anggota DPR RI FPDI Perjuangan
1.
Latar Belakang
Partai politik masih
menjadi faktor penentu dalam memproduksi politik, kekuasaan, berikut para
pemainnya. Di masa desentralisasi ini transformasi politik dan kekuasaan tidak
terbatas kepada peta perpolitikan di tingkat pusat namun juga menyangkut
perpolitikan dan tampuk kekuasaan di tingkat daerah. Bersamaan dengan semakin
terbukanya iklim politik, masyarakat juga semakin bisa menilai kapabilitas,
akuntabilitas dan performa dari politisi-politisi yang sedang bekerja dan
sekaligus membuat tekanan-tekanan kepada lembaga eksekutif dan legislatif pusat
maupun daerah untuk menjadi semakin baik. Dengan tuntutan untuk menjadi semakin
baik, sudah seharusnya partai politik ikut memperbaiki programnya agar lebih
aspiratif. Salah satu aspek penting yang diharapkan masyarakat dari partai
politik adalah keberpihakannya kepada perempuan melalui upaya-upaya kaderisasi
yang terencana untuk perempuan siap terjun ke politik dan dunia pembuatan
kebijakan.
Mengapa perempuan yang
perlu didorong untuk bisa meyuarakan diri dan mempengaruhi kebijakan?
Pertanyaan ini sebetulnya sudah banyak dijawab, yaitu karena dipercayai bahwa
perempuanlah yang memahami betul persoalan-persoalan perempuan itu sendiri
dalam dunia domestik maupun publik seperti misalnya persoalan kesehatan
reproduksi perempuan, kesehatan keluarga, pendidikan dini kepada anak-anaknya,
persoalan ekonomi keluarga, kesempatan kerja, pengupahan yang adil, dsb. Dengan
jumlah perempuan sebesar 118.048.783 jiwa dari total polulasi 237.556.363 jiwa
yang berarti mencapai hampir 50% dari total penduduk Indonesia di tahun
2009-2010 (BPS, Agustus 2010), sudah seharusnya jumlah itu perlu mendapat
perwakilan yang sepatutnya dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Partai
politiklah yang akan mengawali keterwakilan mereka itu.
Selain karena
populasinya, pembelaan dan keberpihakan kepada perempuan harus didasarkan
kepada fakta bahwa perempuan masih ‘tertinggal’ jauh dari rekan laki-lakinya,
hampir dalam segala aspek. Dari Indeks pembangunan gender atau Gender
Development Index untuk tahun 2009 misalnya, menunjukkan posisi perempuan
Indonesia berada di urutan ke 90 dari 156 negara. Indeks ini[1] menjadi
salah satu tolak ukur pencapaian perempuan dalam kehidupan publik dan faktanya
menunjukkan perempuan Indonesia masih punya persoalan pemenuhan kebutuhan dasar
seperti angka kematian ibu yang masih tinggi yaitu 307 setiap 100.000 kelahiran
hidup; 7,7 juta orang masih buta huruf; partisipasi perempuan di pasar tenaga
kerja hanya 49% dibadingkan laki-laki yang mencapai 80an persen; dan
keterwakilan di parlemen yang hanya 18% (UNDP, 2010).
Meskipun masih
‘tertinggal’, rasanya tidak perlu dipersoalkan lagi fakta bahwa perempuan punya
peran besar dalam perekonomian rumah tangga dan berkontribusi kepada perekonomian
nasional lewat berbagai saluran ekonomi kerakyakat seperti sektor informal di
perkotaan maupun perdesaan yang tidak tercatat resmi tapi jelas memberikan
kontribusi besar kepada perekonomian nasional. Dengan tidak terwakilinya
perempuan dengan jumlah yang proporsional dalam proses pembuatan kebijakan,
maka kebijakan ekonomi misalnya, berpotensi mengabaikan hak-hak dasar perempuan
dari pencapaian yang telah mereka lakukan dalam realitas kehidupan sehari-hari.
Dalam sektor lain seperti pertanian dan lingkungan hidup peran dan pembagian
kerja antara laki-laki dan perempuan biasanya spesifik sehingga secara teori
akan membentuk sebuah tatanan produksi yang cukup mapan dari waktu ke waktu.
Kemapanan tatanan tersebut umumya terganggu ketika datang program pembagunan
yang menyangkal peran perempuan dalam pertanian dan lingkungan. Alih fungsi
lahan hutan dan pertanian menjadi perkebunan monokultur, dan resor-resor mewah
menggantikan hutan bakau berakibat sangat besar pada perubahan peran perempuan
dan menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang nyata.
Berdasarkan hal itulah,
penting untuk mendorong perempuan untuk berdaya dalam politik untuk
memperjuangkan kepentingannya dalam pembuatan kebijakan. Dan semua itu tentunya
berawal dari partai politik. Seringkali dan sudah menjadi pengetahuan umum
dalam dunia politik bahwa perempuan enggan untuk masuk ke politik karena
berhadapan dengan kendala struktural, kultutal dan personal. Kendala struktural
adalah hal-hal yang menyangkut isu bahwa keterlibatan dalam politik membutuhkan
jejaring sosial politik dan sumber finansial yang mencukupi. Kendala kultural
adalah kendala yang sangat umum ditemukan, yaitu adanya anggapan bahwa dunia
politik adalah dunia laki-laki, dan sulit bagi perempuan untuk mengartikulasikan
pendapatnya di forum-forum degan mayoritas laki-laki, dan anggapan bahwa
politik itu kotor. Sedangkan kendala personal lebih menyangkut kepada kapasitas
diri perempuan itu sendiri, pengethuan politik dan pengetahuan lainnya serta
ketrampilan untuk berkomunikasi dan menyuarakan dirinya.
Melibatkan perempuan
dalam partai politik, bertujuan untuk membuat perempuan bisa mengatasi
kendala-kendala tersebut dan pada akhirnya bisa mewakili perempuan dalam
pembuatan kebijakan. Namun, persoalannya apakah partai politik sudah menuju
kepada tindakan afirmasi keberpihakan kepada perempuan? Tampaknya belum semua
partai melakukan hal itu. Kalaupun ada, perlu dicermati implementasi
sesungghnya, komitmennya dan keberlanjutannya. Tulisan ini mencoba untuk
menelusuri secara singkat saja, fakta-fakta seputar kondisi gambaran perempuan
dalam partai politik.
2.
Perempuan Dalam Ranah Publik dan Kepartaian
Gerakan
perempuan dan keterlibatanya dalam politik sudah dimulai sejak awal
kemerdekaan, namun belum terwakili secara proporsional di lembaga legislatif
dengan hanya menduduki 5,9% kursi di parlemen melalui pemilu tahun 1955.
Keterwakilan perempuan terus meningkat dalam pemilu-pemilu selanjutnya (dengan
penurunan antara periode 1997-1999), hingga dua pemilu terakhir tahun 2004
sebesar 10,8% dan pemilu 2009 sebesar sekitar 18%. Meskipun dianggap sudah
mengalami peningkatan yang berarti selama dua periode terakhir pemilu, jumlah
keterwakilan itu belum bisa mencapai target 30% sebagaimana ditetapkan oleh UU.
Di dalam parlemen periode
2009-2014, anggota legislatif perempuan umumnya menduduki komisi yang bersifat
pemerintahan dan sosial seperti komisi II (25,45%), komisi VII (22,92%), komisi
IX (42,55%), dan X (26%), yang pada umumnya berhubungan dengan otda, reformasi
birokrasi, pemilu, dalam negeri, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan,
sosial, agama, kependudukan, kesenian, kebudayaan, olah raga, tenaga kerja, dan
transmigrasi. Sedangkan untuk komisi-komisi lain yang dianggap maskulin seperti
komisi I (15,56%), komisi III (hukum, HAM, dan legislasi 7,27%), komisi IV dan
V (masing-masing 10,91%), komisi VI (12%), komisi VII (9,09%), dan komisi XI
(20%) (lihat situs web DPR-RI, www.dpr.go.id,
2011).
Undang-undang partai
politik No. 2/2008 pasal 2 ayat 5 menetapkan bahwa partai politik harus
memberikan kuota 30% untuk perempuan duduk pada pimpinan pusat partainya.
Menurut temuan UNDP, tiga partai politi besar menunjukkan bahwa tidak satupun
dari partai besar tersbut yang memiliki 30% anggota perempuan duduk di dewan
pimpinan pusat, dan tidak juga ditemukan informasi mengenai posisi perempuan
dalam kepartaian. Yang cukup mengejutkan juga adalah temuan UNDP bahwa sebagian
besar partai tidak memiliki catatan tentang keanggotaan mereka (UNDP, 2010). Hal ini bisa menjadi salah satu
indikasi bahwa partai politik yang meskipun berupaya untuk menyuarakan
kepentngan rakyat, tetap didominasi oleh pola partiarkal.
Tantangan mendasar
untuk perempuan memasuki ranah publik tidak bisa dilepaskan dari ideologi
gender yang selama bertahun-tahun diinternalisasi melalui kehidupan
sehari-hari; bahwa perempuan selayaknya memiliki tugas di rumah dan laki-laki
bertugas untuk lebih produktif di luar rumah. Pembedaan ranah publik dan
domestik ini tampaknya tetap melekat erat dan dipandang sebagai salah satu
hambatan bagi perempuan untuk terjun lebih efektif ke dalam dunia politik dan
publik secara umum. Kalaupun perempuan berhasil masuk ke dalam ranah publik,
mereka tetap dituntut untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai pengurus
rumah tangga yang utama. Sehingga dengan demikian, apapun yang terjadi,
perempuan politisi tetap memiliki beban ganda dibandingkan dengan laki-laki.
Masyarakat juga masih
memegang kuat anggapan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki dan pengambil
keputusan utama. Sebagian besar juga berpendapat bahwa perempuan tidak boleh
bekerja tanpa izin dari suami. Dengan ideologi gender yang tidak setara seperti
ini, sudah bisa ditebak bahwa perempuan tidak memiliki banyak ruang untuk mengembangkan
dirinya, terlebih lagi untuk menguasai panggung politik dan bidang publik.
Dengan hambatan yang sangat mendasar di tataran ideologi semacam ini, upaya
untuk memberdayakan perempuan dan meningkatkan partisipasinya di dunia politik
dan membuat kebijakan menjadi sangat tidak mudah. Ideologi serupa yang juga
dimiliki partai politik, menambah panjang liku-liku tantangan untuk perempuan.
Menurut Seda (2002),
dalam tubuh partai paling tidak ada lima kendala unt perempuan yang ingin lebih
terlibat dalam partai dan menjadi lebih efektif berpolitik. Pertama adalah
level sosialisasi politik untuk perempuan, rendah, artinya sedikit perempuan
yang aktif sebagai kader partai. Kedua adalah faktor kepemimpinan di parpol
yang cenderung laki-laki dan menominasikan rekan laki-laki lainnya untuk
memenangkan pemilu. Ketiga ada kecenderungan untuk memilih kandidat perempuan
yang nota bene terkoneksi degan lelaki yang sedang duduk dalam tampuk
kekuasaan. Keempat, dalam pemilu, umumya dibtuhkan dukungan finansial yang cukup
besar, dan sedikit perempuan punya sumber daya ini dan berkomitmen. Kelima,
perempuan cenderung kurang memiliki kemampuan memobilisasi massa.
Ideologi dan praktik
yang bias gender berdampak pada cara kerja dan ideologi partai. Bisa dikatakan
bahwa parpol tidak serius melakukan investasi dan kaderisasi yang baik dan
benar, yang artinya juga, adil gender. Tidak terlalu besarnya peran perempuan
dalam kepengurusan partai karena tidak duduk dalam posisi yang meentukan garis
haluan partai membuat perempuan nyaris tidak memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi kebijakan partainya. Dengan demikian, dari segi ketrampilanpun,
kader-kader perempuan yang ada di partai, tidak berkembang.
3. Beberapa Upaya untuk Meningkatkan
Partisipasi Perempuan di Ranah Publik dan Kebijakan
Menurut Seda (2002),
ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan jika hendak memperkuat peran
perempuan dan partisipasi politiknya. Pertama, pembenahan parpol ke arah yang
lebih sensitive gender untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam partaiya dan
memberikan kepada perempuan kesempatan yang sama dan adil seperti kepada rekan
laki-lakinya. Sensitivitas gender dalam partai bisa terwujud dalam bentuk
jadwal-jadwal pertemuan lebih sensitif degan memperhatikan beban ganda
perempuan sehingga tidak menjadi berlebihan. Kedua, meningkatkan peran kerja
sama antara lembaga sosial kemasyarakatan dengan perempuan di dunia politik,
dan membantu lembaga-lembaga msayrakat ini untuk bisa mempengaruhi kebijkaan
publik melalui parlemen dan partai politik. Ketiga, memakai media-media
kebudayaan dan agama untuk memgasilitasi sosialisasi pentingnya perempuan dalam
dunia politik. Keempat, mengembangkan kemampuan perempuan pada level-level yang
lebih kecil, seperti organisasi masyarakat tingat kampung untuk membuat keputusan
politik. Kelima, organisasi-organisasi perempuan harus lebih strategis untk
mengupayakan model pengembagan program-program sosial seperti kesehatan
reporduksi, sanitasi dan sejenisnya dengan dikaitkan kepada upaya partisipasi
politik perempuan di bidang-bidang tersebut. Keenam, mendorong bentk-bentuk
debat publik yang sehat dan konstruktif, advokasi yag mempromosikan partisipasi
politik perempuan.
Hal-hal tersebut di
atas, merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa
perempuan mendapat kesempatan yang adil untuk berpartisipasi dalam dunia
politik dan pembuatan kebijakan. Dengan semakin terbukanya masyarakat akan
pengetahuan dan kesempatan bersuara, peran-peran lembaga swadaya masyarakat dan
politisi perempuan untuk mengawal parpol menjadi lebih sensitif gender menjadi
penting, terutama untuk mengawal agar terwujudnya komitmen untuk meningkatkan
partisipasi perempuan dalam dunia politik dan tindakan afirmasi keberpihakan
kepada pembelaan permpuan secara luas.
***
[1] GDI indeks pembangunan gender adalah penunjuk atau indikator yang
mengukur perkembangan manusia dengan mempertimbangkan faktor gender sebagai
sebuah konstruksi sosial budaya. Komponen GDI sama dengan komponen dalam Indeks
Pembangunan Manusia (HDI) tetapi dengan penyesuaian berdasarkan perbedaan
pencapaian antara laki-laki dan perempuan. Indikator yang digunakan antara lain
adalah angka harapan hidup antara laki-laki dan perempuan, pencapaian
pendidikan antara keduanya, strata kehidupan berdasarkan perkapita income.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar