Selasa, 16 Juli 2013

Perempuan Dalam Partai

Eva Kusuma Sundari
Anggota DPR RI FPDI Perjuangan


1. Latar Belakang
Partai politik masih menjadi faktor penentu dalam memproduksi politik, kekuasaan, berikut para pemainnya. Di masa desentralisasi ini transformasi politik dan kekuasaan tidak terbatas kepada peta perpolitikan di tingkat pusat namun juga menyangkut perpolitikan dan tampuk kekuasaan di tingkat daerah. Bersamaan dengan semakin terbukanya iklim politik, masyarakat juga semakin bisa menilai kapabilitas, akuntabilitas dan performa dari politisi-politisi yang sedang bekerja dan sekaligus membuat tekanan-tekanan kepada lembaga eksekutif dan legislatif pusat maupun daerah untuk menjadi semakin baik. Dengan tuntutan untuk menjadi semakin baik, sudah seharusnya partai politik ikut memperbaiki programnya agar lebih aspiratif. Salah satu aspek penting yang diharapkan masyarakat dari partai politik adalah keberpihakannya kepada perempuan melalui upaya-upaya kaderisasi yang terencana untuk perempuan siap terjun ke politik dan dunia pembuatan kebijakan.

Mengapa perempuan yang perlu didorong untuk bisa meyuarakan diri dan mempengaruhi kebijakan? Pertanyaan ini sebetulnya sudah banyak dijawab, yaitu karena dipercayai bahwa perempuanlah yang memahami betul persoalan-persoalan perempuan itu sendiri dalam dunia domestik maupun publik seperti misalnya persoalan kesehatan reproduksi perempuan, kesehatan keluarga, pendidikan dini kepada anak-anaknya, persoalan ekonomi keluarga, kesempatan kerja, pengupahan yang adil, dsb. Dengan jumlah perempuan sebesar 118.048.783 jiwa dari total polulasi 237.556.363 jiwa yang berarti mencapai hampir 50% dari total penduduk Indonesia di tahun 2009-2010 (BPS, Agustus 2010), sudah seharusnya jumlah itu perlu mendapat perwakilan yang sepatutnya dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Partai politiklah yang akan mengawali keterwakilan mereka itu.

Selain karena populasinya, pembelaan dan keberpihakan kepada perempuan harus didasarkan kepada fakta bahwa perempuan masih ‘tertinggal’ jauh dari rekan laki-lakinya, hampir dalam segala aspek. Dari Indeks pembangunan gender atau Gender Development Index untuk tahun 2009 misalnya, menunjukkan posisi perempuan Indonesia berada di urutan ke 90 dari 156 negara. Indeks ini[1] menjadi salah satu tolak ukur pencapaian perempuan dalam kehidupan publik dan faktanya menunjukkan perempuan Indonesia masih punya persoalan pemenuhan kebutuhan dasar seperti angka kematian ibu yang masih tinggi yaitu 307 setiap 100.000 kelahiran hidup; 7,7 juta orang masih buta huruf; partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja hanya 49% dibadingkan laki-laki yang mencapai 80an persen; dan keterwakilan di parlemen yang hanya 18% (UNDP, 2010).

Meskipun masih ‘tertinggal’, rasanya tidak perlu dipersoalkan lagi fakta bahwa perempuan punya peran besar dalam perekonomian rumah tangga dan berkontribusi kepada perekonomian nasional lewat berbagai saluran ekonomi kerakyakat seperti sektor informal di perkotaan maupun perdesaan yang tidak tercatat resmi tapi jelas memberikan kontribusi besar kepada perekonomian nasional. Dengan tidak terwakilinya perempuan dengan jumlah yang proporsional dalam proses pembuatan kebijakan, maka kebijakan ekonomi misalnya, berpotensi mengabaikan hak-hak dasar perempuan dari pencapaian yang telah mereka lakukan dalam realitas kehidupan sehari-hari. Dalam sektor lain seperti pertanian dan lingkungan hidup peran dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan biasanya spesifik sehingga secara teori akan membentuk sebuah tatanan produksi yang cukup mapan dari waktu ke waktu. Kemapanan tatanan tersebut umumya terganggu ketika datang program pembagunan yang menyangkal peran perempuan dalam pertanian dan lingkungan. Alih fungsi lahan hutan dan pertanian menjadi perkebunan monokultur, dan resor-resor mewah menggantikan hutan bakau berakibat sangat besar pada perubahan peran perempuan dan menimbulkan ketimpangan sosial dan ekonomi yang nyata.

Berdasarkan hal itulah, penting untuk mendorong perempuan untuk berdaya dalam politik untuk memperjuangkan kepentingannya dalam pembuatan kebijakan. Dan semua itu tentunya berawal dari partai politik. Seringkali dan sudah menjadi pengetahuan umum dalam dunia politik bahwa perempuan enggan untuk masuk ke politik karena berhadapan dengan kendala struktural, kultutal dan personal. Kendala struktural adalah hal-hal yang menyangkut isu bahwa keterlibatan dalam politik membutuhkan jejaring sosial politik dan sumber finansial yang mencukupi. Kendala kultural adalah kendala yang sangat umum ditemukan, yaitu adanya anggapan bahwa dunia politik adalah dunia laki-laki, dan sulit bagi perempuan untuk mengartikulasikan pendapatnya di forum-forum degan mayoritas laki-laki, dan anggapan bahwa politik itu kotor. Sedangkan kendala personal lebih menyangkut kepada kapasitas diri perempuan itu sendiri, pengethuan politik dan pengetahuan lainnya serta ketrampilan untuk berkomunikasi dan menyuarakan dirinya.

Melibatkan perempuan dalam partai politik, bertujuan untuk membuat perempuan bisa mengatasi kendala-kendala tersebut dan pada akhirnya bisa mewakili perempuan dalam pembuatan kebijakan. Namun, persoalannya apakah partai politik sudah menuju kepada tindakan afirmasi keberpihakan kepada perempuan? Tampaknya belum semua partai melakukan hal itu. Kalaupun ada, perlu dicermati implementasi sesungghnya, komitmennya dan keberlanjutannya. Tulisan ini mencoba untuk menelusuri secara singkat saja, fakta-fakta seputar kondisi gambaran perempuan dalam partai politik.


2. Perempuan Dalam Ranah Publik dan Kepartaian
Gerakan perempuan dan keterlibatanya dalam politik sudah dimulai sejak awal kemerdekaan, namun belum terwakili secara proporsional di lembaga legislatif dengan hanya menduduki 5,9% kursi di parlemen melalui pemilu tahun 1955. Keterwakilan perempuan terus meningkat dalam pemilu-pemilu selanjutnya (dengan penurunan antara periode 1997-1999), hingga dua pemilu terakhir tahun 2004 sebesar 10,8% dan pemilu 2009 sebesar sekitar 18%. Meskipun dianggap sudah mengalami peningkatan yang berarti selama dua periode terakhir pemilu, jumlah keterwakilan itu belum bisa mencapai target 30% sebagaimana ditetapkan oleh UU.

Di dalam parlemen periode 2009-2014, anggota legislatif perempuan umumnya menduduki komisi yang bersifat pemerintahan dan sosial seperti komisi II (25,45%), komisi VII (22,92%), komisi IX (42,55%), dan X (26%), yang pada umumnya berhubungan dengan otda, reformasi birokrasi, pemilu, dalam negeri, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan perempuan, sosial, agama, kependudukan, kesenian, kebudayaan, olah raga, tenaga kerja, dan transmigrasi. Sedangkan untuk komisi-komisi lain yang dianggap maskulin seperti komisi I (15,56%), komisi III (hukum, HAM, dan legislasi 7,27%), komisi IV dan V (masing-masing 10,91%), komisi VI (12%), komisi VII (9,09%), dan komisi XI (20%) (lihat situs web DPR-RI, www.dpr.go.id, 2011).

Undang-undang partai politik No. 2/2008 pasal 2 ayat 5 menetapkan bahwa partai politik harus memberikan kuota 30% untuk perempuan duduk pada pimpinan pusat partainya. Menurut temuan UNDP, tiga partai politi besar menunjukkan bahwa tidak satupun dari partai besar tersbut yang memiliki 30% anggota perempuan duduk di dewan pimpinan pusat, dan tidak juga ditemukan informasi mengenai posisi perempuan dalam kepartaian. Yang cukup mengejutkan juga adalah temuan UNDP bahwa sebagian besar partai tidak memiliki catatan tentang keanggotaan mereka  (UNDP, 2010). Hal ini bisa menjadi salah satu indikasi bahwa partai politik yang meskipun berupaya untuk menyuarakan kepentngan rakyat, tetap didominasi oleh pola partiarkal.

Tantangan mendasar untuk perempuan memasuki ranah publik tidak bisa dilepaskan dari ideologi gender yang selama bertahun-tahun diinternalisasi melalui kehidupan sehari-hari; bahwa perempuan selayaknya memiliki tugas di rumah dan laki-laki bertugas untuk lebih produktif di luar rumah. Pembedaan ranah publik dan domestik ini tampaknya tetap melekat erat dan dipandang sebagai salah satu hambatan bagi perempuan untuk terjun lebih efektif ke dalam dunia politik dan publik secara umum. Kalaupun perempuan berhasil masuk ke dalam ranah publik, mereka tetap dituntut untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai pengurus rumah tangga yang utama. Sehingga dengan demikian, apapun yang terjadi, perempuan politisi tetap memiliki beban ganda dibandingkan dengan laki-laki.

Masyarakat juga masih memegang kuat anggapan bahwa kepala keluarga adalah laki-laki dan pengambil keputusan utama. Sebagian besar juga berpendapat bahwa perempuan tidak boleh bekerja tanpa izin dari suami. Dengan ideologi gender yang tidak setara seperti ini, sudah bisa ditebak bahwa perempuan tidak memiliki banyak ruang untuk mengembangkan dirinya, terlebih lagi untuk menguasai panggung politik dan bidang publik. Dengan hambatan yang sangat mendasar di tataran ideologi semacam ini, upaya untuk memberdayakan perempuan dan meningkatkan partisipasinya di dunia politik dan membuat kebijakan menjadi sangat tidak mudah. Ideologi serupa yang juga dimiliki partai politik, menambah panjang liku-liku tantangan untuk perempuan.

Menurut Seda (2002), dalam tubuh partai paling tidak ada lima kendala unt perempuan yang ingin lebih terlibat dalam partai dan menjadi lebih efektif berpolitik. Pertama adalah level sosialisasi politik untuk perempuan, rendah, artinya sedikit perempuan yang aktif sebagai kader partai. Kedua adalah faktor kepemimpinan di parpol yang cenderung laki-laki dan menominasikan rekan laki-laki lainnya untuk memenangkan pemilu. Ketiga ada kecenderungan untuk memilih kandidat perempuan yang nota bene terkoneksi degan lelaki yang sedang duduk dalam tampuk kekuasaan. Keempat, dalam pemilu, umumya dibtuhkan dukungan finansial yang cukup besar, dan sedikit perempuan punya sumber daya ini dan berkomitmen. Kelima, perempuan cenderung kurang memiliki kemampuan memobilisasi massa.

Ideologi dan praktik yang bias gender berdampak pada cara kerja dan ideologi partai. Bisa dikatakan bahwa parpol tidak serius melakukan investasi dan kaderisasi yang baik dan benar, yang artinya juga, adil gender. Tidak terlalu besarnya peran perempuan dalam kepengurusan partai karena tidak duduk dalam posisi yang meentukan garis haluan partai membuat perempuan nyaris tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan partainya. Dengan demikian, dari segi ketrampilanpun, kader-kader perempuan yang ada di partai, tidak berkembang.

3. Beberapa Upaya untuk Meningkatkan Partisipasi Perempuan di Ranah Publik dan Kebijakan

Menurut Seda (2002), ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan jika hendak memperkuat peran perempuan dan partisipasi politiknya. Pertama, pembenahan parpol ke arah yang lebih sensitive gender untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam partaiya dan memberikan kepada perempuan kesempatan yang sama dan adil seperti kepada rekan laki-lakinya. Sensitivitas gender dalam partai bisa terwujud dalam bentuk jadwal-jadwal pertemuan lebih sensitif degan memperhatikan beban ganda perempuan sehingga tidak menjadi berlebihan. Kedua, meningkatkan peran kerja sama antara lembaga sosial kemasyarakatan dengan perempuan di dunia politik, dan membantu lembaga-lembaga msayrakat ini untuk bisa mempengaruhi kebijkaan publik melalui parlemen dan partai politik. Ketiga, memakai media-media kebudayaan dan agama untuk memgasilitasi sosialisasi pentingnya perempuan dalam dunia politik. Keempat, mengembangkan kemampuan perempuan pada level-level yang lebih kecil, seperti organisasi masyarakat tingat kampung untuk membuat keputusan politik. Kelima, organisasi-organisasi perempuan harus lebih strategis untk mengupayakan model pengembagan program-program sosial seperti kesehatan reporduksi, sanitasi dan sejenisnya dengan dikaitkan kepada upaya partisipasi politik perempuan di bidang-bidang tersebut. Keenam, mendorong bentk-bentuk debat publik yang sehat dan konstruktif, advokasi yag mempromosikan partisipasi politik perempuan.

Hal-hal tersebut di atas, merupakan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa perempuan mendapat kesempatan yang adil untuk berpartisipasi dalam dunia politik dan pembuatan kebijakan. Dengan semakin terbukanya masyarakat akan pengetahuan dan kesempatan bersuara, peran-peran lembaga swadaya masyarakat dan politisi perempuan untuk mengawal parpol menjadi lebih sensitif gender menjadi penting, terutama untuk mengawal agar terwujudnya komitmen untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam dunia politik dan tindakan afirmasi keberpihakan kepada pembelaan permpuan secara luas.
***




[1] GDI indeks pembangunan gender adalah penunjuk atau indikator yang mengukur perkembangan manusia dengan mempertimbangkan faktor gender sebagai sebuah konstruksi sosial budaya. Komponen GDI sama dengan komponen dalam Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tetapi dengan penyesuaian berdasarkan perbedaan pencapaian antara laki-laki dan perempuan. Indikator yang digunakan antara lain adalah angka harapan hidup antara laki-laki dan perempuan, pencapaian pendidikan antara keduanya, strata kehidupan berdasarkan perkapita income

Tidak ada komentar:

Posting Komentar