Eva Kusuma Sundari
Eksekutif
dan legislatif baik di tingkatan nasional dan daerah saat ini berperan penting
dalam pengusulan, pembuatan dan pengesahan peraturan dalam bentuk peraturan
baik dalam bentuk undang-undang, dan peraturan dibawahnya. Selama ini, aturan
yang mendasari pembentukan undang-undang adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2010 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang memiliki pengertian
dalam pasal 1 ayat (1): “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai
dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”.
Moh. Mahfud MD membedakan produk hukum secara
tajam, pertama produk hukum yang responsive/populistik, dimana karakter produk
hukum mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan mayarakat. Dalam proses
pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompk-kelompok
sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsive terhadap
tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Sedangkan
karakter yang kedua adalah Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis
adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik,
lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis,
yakni menjadi alat pelaksana ideology dan program negara. Berlawanan dengan
hukum responsive, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok
maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dan
partisipasi masyarakat relatif kecil. Sehingga dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan seharusnya juga mengikutsertakan peran masyarakat
dalam proses pembuatan undang-undang maupun peraturan yang lebih rendah. Tidak
kalah penting dari itu, undang-undang maupun peraturan dibawahnya juga
mendasarkan kepada dasar-dasar hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga
negara yang secara otomatis akan terikat secara hukum dengan undang-undang dan
peraturan yang dibuat dan disahkan. Undang-undang maupun peraturan yang lebih
rendah, seharusnya di buat dengan tidak melanggar hak-hak asasi manusia, hak
warga negara dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar mereka. karena ada kecendrungan
aturan undang-undang yang dibuat baik itu peraturan undang-undang di tingkat
nasional, maupun peraturan daerah yang berkaitan dengan permasalah ekonomi,
industri maupun peraturan lainnya terkadang tidak berpihak kepada hak-hak asasi
manusia dan hak-hak warganegara sebagai pemegang kekuasaan di negara ini.
Proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di DPR saat ini
masih mengalami tarik ulur mengenai pasal-pasal yang akan diatur. Khusus untuk
penggunaan asas HAM sebagai dasar pembuatan setiap undang-undang dan
peraturanyang lebih rendah, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maupun
revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak secara eksplisit menggunakan
konvensi internasional dan Undang-Undang HAM sebagai salah satu dasar untuk
membuat sebuah undang-undang baru. Pada pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 dinyatakan bahwa undang-undan harus mengandung asas kemanusiaan, dan
pasal 8 huruf a yaitu mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945
yang meliputi 1. Hak asasi Manusia; 2. Hak dan kewajiban warganegara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan
negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan
kependudukan; 6. keuangan negara. Dalam pasal ini hanya pembentukan perundangan
yang mengandung asas kemanusiaan dan dalam pasal 8 hanya akan mengatur lebih
lanjut ketentuan yang menyangkut HAM. Sedangkan dalam pembuatan peraturan yang
lebih rendah tidak dinyatakan secara eksplisit mengenai asas HAM yang harus
digunakan dalam pembuatan peraturan seperti Perpu, Perda ataupun peraturan
lainnya.
Sedangkan
pada revisi-nya, isi pasal 8 sama sekali berubah dan dalam revisi Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 dalam pasal 6 huruf b hanya berisi kalimat asas kemanusiaan
yang dalam penjelasnnya memiliki makna bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional. Namun pada revisi ini, secara eksplisit pun
tidak ada pernyataan mengenai penggunaan asas-asas konvensi internasional
mengenai HAM melalui UU ratifikasi HAM dalam setiap pembuatan rancangan
undang-undang ataupun rancangan peraturan yang lebih rendah dari undang-undang.
Undang-undang yang sederajat dapat digunakan sebagai dasar pembentukan
undang-undang baru. Sehingga undang-undang HAM dapat digunakan juga sebagai
acuan ataupun dasar untuk membuat undang-undang baru dan peraturan yang lebih
rendah. Penggunaan UU HAM sebagai salah satu dasar untuk pembentukan
undang-undang ataupun peraturan lainnya sangat penting sebagai jaminan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran terhadap kemanusiaan yang dilindungi secara
hukum atau terjadinya pengesampingan hak-hak warganegara oleh pemerintah
ataupun oleh pihak-pihak yang diuntungkan oleh adanya undang-undang dan
peraturan yang lebih rendah.
Penguatan Kualitas Anggota Legislatif
Ujung
tombak dari proses pembuatan undang-undang dan peraturan yang lebih rendah yang
berkualitas adalah kualitas para legislator dan pemerintah dalam berproses
untuk memproduksi sebuah produk undang-undang. Pemerintah, sudah pasti memiliki
sumberdaya manusia yang memiliki pendidikan maupun sumber daya yang dibentuk
oleh berbagai macam pelatihan legal drafting. Sedangkan parlemen, pembentukan
kemampuan anggota parlemen dalam pembuatan undang-undang terjadi tidak secara
sistematis. Artinya karena berbagai latar belakang pendidikan dan pengalam yang
beragam, otomatis kemampuan para anggota parlemen dalam hal kemampuan untuk
pembuatan undang-undang tidaklah sama. Untuk itu peran dari partai politik
menjadi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan para anggota parlemen dalam
legsilasi. Para anggota parlemen yang memiliki kualitas yang baik dalam hal
legislasi, memiliki kesadaran dalam hal nilai-nilai HAM dan kritis, akan dapat
menciptakan produk undang-undang yang berpihak kepada masyarakat dan tidak
melanggar hak asasi manusia dan warganegara.
Namun begitu,
masih lemahnya proses pengkaderan oleh lembaga kepartaian terutama dalam hal
legal drafting dan pemahaman permasalahan pembuatan isi sebuah undang-undang,
membuat belum maksimalnya kader partai yang ditempatkan sebagai anggota
legislatif. Beragamnya latar belakang para kader partai pun membuat isu-isu
sensitif HAM yang seharusnya dapat dimasukkan dalam isi sebuah undang-undang
menjadi terlupakan. Seharunya undang-undang negara selain harusnya tidak
bertolak belakang dengan undang-undang yang lebih tinggi atau sederajat, juga
harus mementingkan hak-hak kemanusiaan dan hak-hak masyarakat sebagai
warganegara. Sebagai contoh, keluarnya undang-undang mengenai budidaya tanaman,
menyebabkan banyaknya konflik yang terjadi antara perusahaan-perusahaan besar dan
petani-petani kecil, dimana yang terjadi undang-undang tersebut lebih
memenangkan industri besar, sehingga menyebabkan para petani kecil yang
seharusnya dilindungi oleh negara malah semakin terzolimi dan tercabut
hak-haknya dalam mencari nafkah. Bukan itu
saja, peraturan-peraturan daerah yang tidak singkron dengan peraturan yang
lebih tinggi seringkali muncul di beberapa daerah, seperti Perda Syariah
dibeberapa daerah, dimana perda ini sering sekali menjadi konflik dimasyarakat
tanpa memberikan sebuah solusi produktif. Perda-perda ini sering membatasi
hak-hak warganegara untuk mencari nafkah diwaktu malam, atau menjadi alasan
timbulnya sweeping oleh kelompok tertentu terhadap warga yang mencari nafkah
diwaktu malam atau di tempat-tempat hiburan, dengan mengatasnamakan penegakan
hukum daerah.
Pentingnya
peningkatan kualitas legal drafting dan pengetahuan HAM kepada para anggota
legislatif adalah untuk menghindari terbitnya undang-undang maupun peraturan
seperti ini. Kelemahan sistem kepartaian dalam melaksanakan pengkaderan dalam
jangka pendek dapat diatasi dengan pengawasan masyarakat terhadap setiap
undang-undang dan peraturan yang sedang dalam proses pembuatan. Terutama sekali
para aktivis HAM, menjadi pengisi celah kekosongan dari para legislator untuk
mengawasi pembuatan undang-undang maupun peraturan yang dapat melanggar hak-hak
kemanusiaan. Untuk itu para aktivis HAM juga seharusnya di bekali dengan
kemampuan untuk melakukan negosiasi dalam memberikan masukan kepada legislator
dan pemerintah mengenai sebuah undang-undang maupun peraturan yang tidak
melanggar HAM.
Undang-undang dan peraturan pesanan
Pemerintah
sebagai bagian pembuat undang-undang dan peraturan dibawah undang-undang,
memiliki peran yang krusial dalam proses pembuatan undang-undang. Pemerintah
memiliki hak untuk mengajukan usulan sebuah rancangan undang-undang yang
diwakili oleh menteri sesuai dengan lingkup tugas yang berkaitan dengan
rancangan undang-undang. Dalam
prosesnya, terkadang usulan pemerintah terhadap sebuah rancangan undang-undang
dan peraturan tidak lepas dari intervensi asing yang memiliki lobi kuat di
pemerintahan. Sejak kejatuhan orede baru, pemerintah sering mendapat tekanan
dari negara-negara maupun organisasi internasional (IMF) yang sering memberi
pinjaman kepada pemrintah. Bentuk tekanan tersebut seringkali dapat dilihat
dari usulan undang-undang dan peraturan pemerintah yang berpihak kepada para
kreditor asing ini. Ditenggarai ada sekitar 76 draf undang-undang yang dibuat
oleh pihak asing. Seperti pada paket peraturan perdagangan yang menenkankan
kepada libralisasi perdagangan dan pengurangan subsidi kepada masyarakat.
Selain itu undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan energi dan minerba
ditenggarai sebagai bentuk dari lobi kuat kreditor ini. Undang-undang lainya
yang menjadi pesanan asing adalah undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang
pertanian dimana undang-undang hanya memperburuk kehidupan para petani kecil,
petani penggarap dan buruh tani yang bergantung dari lahan yang tidak begitu
luas. Namun kesempatan yang ada untuk pemanfaatan lahan pertanian lebih
diberikan kepada para petani industri yang memiliki modal besar dan mampu
berproduksi lebih banyak.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar