Senin, 15 Juli 2013

Kelompok Teroris “Baru” Dan Dilema Pelibatan TNI

Oleh : Eva Kusuma Sundari *) 

Kasus terorisme di Indonesia tampaknya tak kunjung berakhir. Walau gembong teroris nomer wahid Noordin M Top suah tewas dalam baku tembak September 2009 lalu, namun teroris terus saja ada.
Yang terbaru, peristiwa penembakan pos polisi di Solo yang berujung pada pengungkapan sebuah jaringan yang anggotanya masih sangat belia. Dibawah 20 tahun. Ada dua orang yang ditembak mati karena menurut polisi melakukan perlawanan. Sementara dua lainnya ditangkap hidup-hidup.
Jika dibilang “baru”, sebenarnya kelompok teroris Solo yang dikomandani anak muda usia 18 tahun ini tidaklah benar-benar baru.  Farhan yang sudah dimakamkan di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur adalah anak tiri Abu Umar, terpidana kasus terorisme juga yang sudah malang melintang sejak tahun 1999.
Farhan pernah menempuh sekolah dasar di  SD 002 Muhammadiyah, Desa Liang Bunyu, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Lalu masuk ke MTs Ngruki Solo dan keluar pada 2008. Setelah itu dia diduga ikut ayahnya ke Mindanao, Filipina Selatan bergabung dengan gerilyawan dari kelompok Abu Sayyaf untuk kepentingan mendistribusikan senjata dari Filipina ke Indonesia.
Menurut polisi, Farhan memberi nama kelompoknya  Abu Musab Al Zarqawy Al Indonesy , mengambil nama Zarqawy pimpinan al Qaeda Irak yang tewas 2006.  Pada pengeboman gereja Kepunton Solo 25 September 2011 yang dilakukan Pino alias Hayat , diduga kuat kelompok Farhan yang memberi shelter atau perlindungan ketika Pino melarikan diri ke Solo.
Pino adalah rekan M Syarif yang melakukan pengeboman di Mapolresta Cirebon 15 April 2011. Syarif dan Pino pernah mengaji di Abu Bakar Baasyir namun kecewa dan memilih mengikuti taklim Amman Abdurahman  di Cirebon, Jawa Barat.
Farhan ini juga meenjadi simpatisan kelompok Hisbah pimpinan almarhum Sigit Qurdowi yang tewas ditembak oleh Densus 88 pada 14 Mei 2011. Sigit ditembak bersama pengawalnya Hendro Yunanto.   Sigit sendiri juga merupakan perekrut mantan mantan preman yang bertobat. Dia juga pernah berinteraksi dengan kelompok M Syarif diantaranya berlatih bersama di hutan Tasikmalaya Jawa Barat.
Ketika Sigit ditembak polisi, Farhan mengambil alih peranan menghimpun sebagian anggota Hisbah yang tercerai berai karena penggerebegan Densus 2011 itu. Farhan terus menjalin kontak dengan ayah tirinya Abu Umar dengan menyimpan dendam karena kematian Sigit Qurdowi .
Jadi sebenarnya, kelompok Farhan ini tidak benar-benar “baru” seperti yang diduga banyak analis dan pengamat. Selain kelompok Farhan, kita juga dihebohkan dengan kelompok yang diberitakan media sebagai kelompok bom Beji Depok.
Pimpinan kelompok ini diidentifikasi sebagai Muhammad horik, seorang pria miskin setengah menganggur yang tinggal di kawasan Tambora Jakarta Barat. Thorik sudah menyerah, disusul rekannya bernama Yusuf Rizaldi. Kita masih menunggu hasil investigasi lanjutan terhadap kelompok Thorik ini oleh Densus 88 Polri.

Pelibatan TNI

Akibat aksi-aksi teror yang menewaskan dua anggota polisi ini (Briptu Dwi Data Subekti dan Briptu Suherman) muncul wacana lama melibatkan TNI dalam operasi operasi penindakan terorisme langsung di lapangan. Ini sebenarnya wacana yang sudah berlangsung sejak lama namun tak kunjung selesai perdebatannya.
Setiap ada aksi terorisme dalam skala besar, munculah stigma polisi kecolongan, intelijen gagal, dan TNI harus dilibatkan lagi. Komunikasi dengan TNI memang penting, namun apakah TNI dibolehkan melakukan direct action terhadap terduga atau tersangka terorisme ? Mari kita cermati aturan perundang-undangannya.
Bagi kubu atau pihak yang setuju pelibatan TNI, biasanya berargumen negara-negara lain sudah menggunakan instrument militernya dalam berbagai operasi penindakan. 
Misalnya, di Rusia di mana pada tahun 1998 secara resmi mengadopsi peraturan federal “on Combating Terrorism” yang menjadi pilar utama penanggulangan teror di Rusia. Peraturan menempatkan Federal Security Service dan Ministry of Internal Affair sebagai dua agensi yang bertanggung jawab dalam menanggulangi teror. Unit pasukan ini beranggotakan tentara dari berbagai satuan sebagai unit misalnya, pasukan elit Spetsnatz (Alpha, Vega dan ODON), Vityaz, Vympel maupun prajurit reguler dan pasukan khusus kepolisian (OMON).
Di Jerman, sejak tahun 1970 menyerahkan masalah anti terorisme pada GSG 9 Bundespolizei. Mereka juga mengirimkan pasukan elit yang baru dibentuk tahun 1996 KSK untuk berlaga dalam perang melawan terorisme di Afganistan dan Pakistan.
Di Amerika Serikat, Presiden Bush pada tahun 2001 mengeluarkan hukum publik no 107-40 atau yang lebih dikenal sebagai Military Force Authorization. Penyerahan fungsi anti teror kepada militer dalam konteks kontra terorisme pasca peristiwa 9/11. AS mengerahkan pasukan militer dalam operasi melumpuhkan jaringan Al Qaeda di Afganistan dan Iraq sejak 2002. Proses eksekusi pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden pun dilakukan oleh seorang personil Navy Seal dan sampai saat ini AS masih menempatkan sejumlah anggota pasukannya di Iraq.
Di Inggris, memiliki sebuah badan yang khusus menangani masalah terorisme yakni Office for Security and Counter Terrorism (OSCT), kemudian menjadi Joint Terrorism Analyst Centre (JTAC), yang merupakan kecabangan dari Home Office. Tujuan utama dari pembentukan OSCT ialah untuk melindungi masyarakat dari ancaman terorisme dengan melakukan kerjasama dan mengembangkan strategi kontra terorisme Inggris Raya yang dikenal dengan nama CONTEST.
Di Australia, penanggulangan terorisme melibatkan berbagai institusi, mulai dari institusi intelijen yang dikoordinasi Office of National Assessment (ONA), sebuah lembaga yang bernaung di dalam Departemen Perdana Menteri, Australian Defence Force, Australian Federal Police, sampai ke kalangan ilmuwan fisika, kimia dan ilmu-ilmu sosial.
            Namun, patut diingat, dalam konteks Indonesia, TNI membutuhkan paying hukum yang legal dan sah menurut undang-undang. Pelibatan TNI dalam penanggulangan teroris harus mengacu pada pasal 7 ayat 3 UU TNI No.34/2004 dimana dalam menjalankan tugas militer selain perang untuk menanggulangi terorisme harus didasarkan pada keputusan politik tertinggi dalam hal ini keputusan politik negara.
Keputusan politik tentu diambil oleh Presiden RI dengan pertimbangan dan persetujuan DPR selaku representasi rakyat Indonesia. Hingga kini, Presiden belum pernah mengusulkan atau memberikan sikap yang tegas tentang masuknya TNI dalam aksi-aksi kontra terorisme.
Ambil contoh di Amerika Serikat, Presiden Bush sehari setelah serangan WTC 11 September 2001 langsung mebndeklarasikan war on terrorism perang terhadap terorisme. Imbasnya adalah pengerahan besar-besaran militernya ke Irak dan Afghanistan dengan dalih memburu jaringan teroris.
Tentu hal ini tidak bisa diterapkan sama persis dengan problem terorisme di Indonesia. Tidak perlu kita menangkap tikus dengan harus membakar seluruh padi di sawah. Sejarah dan trauma intervensi militer dalam sendi sendi sosial pada jama orde baru tidak perlu dimunculkan kembali ke ruang memori warga Indonesia.

Penguatan BNPT

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang ditandatangani Presiden tanggal 16 Juli 2010.
Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI menjelaskan BNPT merupakan lembaga nonkementrian yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dalam pelaksanaan tugas fungsinya dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Pertimbangan lain yang mendasari terbitnya Perpres ini bahwa terorisme masih tetap merupakan ancaman nyata dan serius yang setiap saat dapat membahayakan keamanan bangsa dan negara, terorganisasi mempunyai jaringan luas, serta mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, sehingga memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoordinasi.
BNPT bertugas menyusun kebijakan/program nasional, mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan, serta melaksanakan kebijakan di bidang terorisme dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Sedangkan satuan tugas selaku pelaksana tugas penanggulangan terorisme yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan, berisi unsur Polri dan TNI yang penugasannya bersifat disiapkan atau bawah kendali operasi (BKO) dan dapat melibatkan unsur masyarakat.
Keberadaan BNPT ini perlu disokong dengan partisipasi aktif masyarakat. Tentu saja, tindakan-tindakan BNPT di lapangan juga harus sejalan dengan ide besar pelibatan itu. Yakni, tidak memposisikan warga sebagai ancaman melainkan mitra.
Karena itu, wacana –wacana yang controversial seperti mengawasi pesantren, memberi sertifikasi pada ulama, atau mengawasi ekstrakurikuler kerohanian Islam (rohis) di sekolah sekolah negeri tidak perlu dilakukan BNPT. Alih-alih menimbulkan simpati masyarakat, wacana itu justru berbahaya bagi keseluruhan tindak penanggulangan terorisme.
Penindakan di lapangan juga harus transparan dan fair. Kritikan tajam soal aksi-aksi penembakan langsung pada terduga teroris saat operasi harus diperhatikan BNPT. Begitu juga dengan korban-korban sipil yang tidak perlu seperti kasus tertembaknya pedagang angkringan Nur Iman di Solo 2011 dan luka luka berat di wajah mertua terduga teroris Bayu di Karanganyar Jawa Tengah baru baru ini.
Sekali lagi, keterlibatan militer atau TNI dalam penanggulangan terorisme secara direct action belum saatnya dilakukan di Indonesia,  karena akan mengancam kebebasan sipil. Terorisme merupakan pelanggaran hukum, kalau TNI masuk pada penanggulangan terorisme, berarti TNI masuk pada penegakan hukum,
Bila TNI terlibat dalam penanggulangan terorisme dalam artian penindakan langsung, dikhawatirkan  akan terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dan itu sulit untuk diusut karena dalam UU TNI  belum jelas mengaturnya. TNI adalah institusi yang tugas utamanya adalah menjaga pertahanan negara. Oleh karena itu, dengan melibatkan TNI dalam mencegah radikalisasi justru akan merendahkan kapabilitas dari TNI sebagai alat pertahanan negara, dan akan kembali menarik TNI untuk terlibat ke dalam isu sosial dan politik, sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru.
Di sisi lain, UU Terorisme kita  juga masih belum mengatur tentang pelibatan TNI dalam menanggulangi terorisme. Oleh karena itu, revisi atau penyempurnaan UU Terorisme itu merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan.


*) anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PDI Perjuangan 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar