Oleh : Eva Kusuma Sundari *)
Kasus terorisme di Indonesia
tampaknya tak kunjung berakhir. Walau gembong teroris nomer wahid Noordin M Top
suah tewas dalam baku
tembak September 2009 lalu, namun teroris terus saja ada.
Yang terbaru, peristiwa penembakan pos polisi di Solo yang berujung
pada pengungkapan sebuah jaringan yang anggotanya masih sangat belia. Dibawah
20 tahun. Ada
dua orang yang ditembak mati karena menurut polisi melakukan perlawanan.
Sementara dua lainnya ditangkap hidup-hidup.
Jika dibilang “baru”, sebenarnya kelompok teroris Solo yang
dikomandani anak muda usia 18 tahun ini tidaklah benar-benar baru. Farhan
yang sudah dimakamkan di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur adalah anak tiri Abu
Umar, terpidana kasus terorisme juga yang sudah malang melintang sejak tahun 1999.
Farhan pernah menempuh sekolah dasar di SD 002 Muhammadiyah,
Desa Liang Bunyu, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kaltim. Lalu
masuk ke MTs Ngruki Solo dan keluar pada 2008. Setelah itu dia diduga ikut
ayahnya ke Mindanao, Filipina Selatan bergabung dengan gerilyawan dari kelompok
Abu Sayyaf untuk kepentingan mendistribusikan senjata dari Filipina ke Indonesia .
Menurut polisi, Farhan memberi nama kelompoknya Abu Musab Al
Zarqawy Al Indonesy , mengambil nama Zarqawy pimpinan al Qaeda Irak yang tewas
2006. Pada pengeboman gereja Kepunton Solo 25 September 2011 yang
dilakukan Pino alias Hayat , diduga kuat kelompok Farhan yang memberi shelter
atau perlindungan ketika Pino melarikan diri ke Solo.
Pino adalah rekan M Syarif yang melakukan pengeboman di Mapolresta Cirebon 15 April 2011.
Syarif dan Pino pernah mengaji di Abu Bakar Baasyir namun kecewa dan memilih
mengikuti taklim Amman Abdurahman di Cirebon, Jawa Barat.
Farhan ini juga meenjadi simpatisan kelompok Hisbah pimpinan
almarhum Sigit Qurdowi yang tewas ditembak oleh Densus 88 pada 14 Mei 2011.
Sigit ditembak bersama pengawalnya Hendro Yunanto. Sigit
sendiri juga merupakan perekrut mantan mantan preman yang bertobat. Dia juga
pernah berinteraksi dengan kelompok M Syarif diantaranya berlatih bersama di
hutan Tasikmalaya Jawa Barat.
Ketika Sigit ditembak polisi, Farhan mengambil alih peranan
menghimpun sebagian anggota Hisbah yang tercerai berai karena penggerebegan
Densus 2011 itu. Farhan terus menjalin kontak dengan ayah tirinya Abu Umar
dengan menyimpan dendam karena kematian Sigit Qurdowi .
Jadi sebenarnya, kelompok Farhan ini tidak benar-benar “baru”
seperti yang diduga banyak analis dan pengamat. Selain kelompok Farhan, kita
juga dihebohkan dengan kelompok yang diberitakan media sebagai kelompok bom
Beji Depok.
Pimpinan kelompok ini diidentifikasi sebagai Muhammad horik, seorang
pria miskin setengah menganggur yang tinggal di kawasan Tambora Jakarta Barat.
Thorik sudah menyerah, disusul rekannya bernama Yusuf Rizaldi. Kita masih
menunggu hasil investigasi lanjutan terhadap kelompok Thorik ini oleh Densus 88
Polri.
Pelibatan TNI
Akibat aksi-aksi teror yang menewaskan dua anggota polisi ini
(Briptu Dwi Data Subekti dan Briptu Suherman) muncul wacana lama melibatkan TNI
dalam operasi operasi penindakan terorisme langsung di lapangan. Ini sebenarnya
wacana yang sudah berlangsung sejak lama namun tak kunjung selesai
perdebatannya.
Setiap ada aksi terorisme dalam skala besar, munculah stigma polisi
kecolongan, intelijen gagal, dan TNI harus dilibatkan lagi. Komunikasi dengan
TNI memang penting, namun apakah TNI dibolehkan melakukan direct action terhadap terduga atau tersangka terorisme ? Mari kita
cermati aturan perundang-undangannya.
Bagi kubu atau pihak yang setuju pelibatan TNI, biasanya berargumen
negara-negara lain sudah menggunakan instrument militernya dalam berbagai
operasi penindakan.
Misalnya, di Rusia di mana pada tahun 1998 secara resmi mengadopsi
peraturan federal “on Combating Terrorism” yang menjadi pilar utama
penanggulangan teror di Rusia. Peraturan menempatkan Federal Security Service
dan Ministry of Internal Affair sebagai dua agensi yang bertanggung jawab dalam
menanggulangi teror. Unit pasukan ini beranggotakan tentara dari berbagai
satuan sebagai unit misalnya, pasukan elit Spetsnatz (Alpha, Vega dan ODON),
Vityaz, Vympel maupun prajurit reguler dan pasukan khusus kepolisian (OMON).
Di Jerman, sejak tahun 1970 menyerahkan masalah anti terorisme pada
GSG 9 Bundespolizei. Mereka juga mengirimkan pasukan elit yang baru dibentuk
tahun 1996 KSK untuk berlaga dalam perang melawan terorisme di Afganistan dan Pakistan .
Di Amerika Serikat, Presiden Bush pada tahun 2001 mengeluarkan hukum
publik no 107-40 atau yang lebih dikenal sebagai Military Force Authorization.
Penyerahan fungsi anti teror kepada militer dalam konteks kontra terorisme
pasca peristiwa 9/11. AS mengerahkan pasukan militer dalam operasi melumpuhkan
jaringan Al Qaeda di Afganistan dan Iraq sejak 2002. Proses eksekusi
pimpinan Al Qaeda, Osama bin Laden pun dilakukan oleh seorang personil Navy
Seal dan sampai saat ini AS masih menempatkan sejumlah anggota pasukannya di Iraq .
Di Inggris, memiliki sebuah badan yang khusus menangani masalah terorisme
yakni Office for Security and Counter Terrorism (OSCT), kemudian menjadi Joint
Terrorism Analyst Centre (JTAC), yang merupakan kecabangan dari Home Office. Tujuan
utama dari pembentukan OSCT ialah untuk melindungi masyarakat dari ancaman
terorisme dengan melakukan kerjasama dan mengembangkan strategi kontra
terorisme Inggris Raya yang dikenal dengan nama CONTEST.
Di Australia, penanggulangan terorisme melibatkan berbagai
institusi, mulai dari institusi intelijen yang dikoordinasi Office of National
Assessment (ONA), sebuah lembaga yang bernaung di dalam Departemen Perdana
Menteri, Australian Defence Force, Australian Federal Police, sampai ke
kalangan ilmuwan fisika, kimia dan ilmu-ilmu sosial.
Namun, patut diingat, dalam konteksIndonesia ,
TNI membutuhkan paying hukum yang legal dan sah menurut undang-undang. Pelibatan
TNI dalam penanggulangan teroris harus mengacu pada pasal 7 ayat 3 UU TNI
No.34/2004 dimana dalam menjalankan tugas militer selain perang untuk menanggulangi
terorisme harus didasarkan pada keputusan politik tertinggi dalam hal ini
keputusan politik negara.
Namun, patut diingat, dalam konteks
Keputusan politik tentu diambil oleh Presiden
RI dengan pertimbangan dan persetujuan DPR
selaku representasi rakyat Indonesia .
Hingga kini, Presiden belum pernah mengusulkan atau memberikan sikap yang tegas
tentang masuknya TNI dalam aksi-aksi kontra terorisme.
Ambil contoh di Amerika Serikat, Presiden Bush sehari setelah
serangan WTC 11 September 2001 langsung mebndeklarasikan war on terrorism perang terhadap terorisme. Imbasnya adalah
pengerahan besar-besaran militernya ke Irak dan Afghanistan dengan dalih memburu
jaringan teroris.
Tentu hal ini tidak bisa diterapkan sama persis dengan problem
terorisme di Indonesia .
Tidak perlu kita menangkap tikus dengan harus membakar seluruh padi di sawah.
Sejarah dan trauma intervensi militer dalam sendi sendi sosial pada jama orde
baru tidak perlu dimunculkan kembali ke ruang memori warga Indonesia .
Penguatan BNPT
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46
tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
yang ditandatangani Presiden tanggal 16 Juli 2010.
Kementrian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI menjelaskan
BNPT merupakan lembaga nonkementrian yang berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden dan dalam pelaksanaan tugas fungsinya dikoordinasikan oleh
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Pertimbangan lain yang mendasari terbitnya Perpres ini bahwa
terorisme masih tetap merupakan ancaman nyata dan serius yang setiap saat dapat
membahayakan keamanan bangsa dan negara, terorganisasi mempunyai jaringan luas,
serta mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional, sehingga
memerlukan penanganan secara terpusat, terpadu dan terkoordinasi.
BNPT bertugas menyusun kebijakan/program nasional, mengkoordinasikan
instansi pemerintah terkait dalam pelaksanaan, serta melaksanakan kebijakan di
bidang terorisme dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur
instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.
Sedangkan satuan tugas selaku pelaksana tugas penanggulangan
terorisme yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan, berisi unsur Polri dan TNI
yang penugasannya bersifat disiapkan atau bawah kendali operasi (BKO) dan dapat
melibatkan unsur masyarakat.
Keberadaan BNPT ini perlu disokong dengan partisipasi aktif
masyarakat. Tentu saja, tindakan-tindakan BNPT di lapangan juga harus sejalan
dengan ide besar pelibatan itu. Yakni, tidak memposisikan warga sebagai ancaman
melainkan mitra.
Karena itu, wacana –wacana yang controversial seperti mengawasi
pesantren, memberi sertifikasi pada ulama, atau mengawasi ekstrakurikuler
kerohanian Islam (rohis) di sekolah sekolah negeri tidak perlu dilakukan BNPT.
Alih-alih menimbulkan simpati masyarakat, wacana itu justru berbahaya bagi
keseluruhan tindak penanggulangan terorisme.
Penindakan di lapangan juga harus transparan dan fair. Kritikan
tajam soal aksi-aksi penembakan langsung pada terduga teroris saat operasi
harus diperhatikan BNPT. Begitu juga dengan korban-korban sipil yang tidak
perlu seperti kasus tertembaknya pedagang angkringan Nur Iman di Solo 2011 dan
luka luka berat di wajah mertua terduga teroris Bayu di Karanganyar Jawa Tengah
baru baru ini.
Sekali lagi, keterlibatan militer atau TNI dalam penanggulangan
terorisme secara direct action belum saatnya dilakukan di Indonesia , karena akan mengancam kebebasan sipil. Terorisme
merupakan pelanggaran hukum, kalau TNI masuk pada penanggulangan terorisme,
berarti TNI masuk pada penegakan hukum,
Bila TNI terlibat dalam penanggulangan terorisme dalam artian
penindakan langsung, dikhawatirkan akan
terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum dan itu sulit untuk diusut karena dalam UU
TNI belum jelas mengaturnya. TNI adalah
institusi yang tugas utamanya adalah menjaga pertahanan negara. Oleh karena
itu, dengan melibatkan TNI dalam mencegah radikalisasi justru akan merendahkan
kapabilitas dari TNI sebagai alat pertahanan negara, dan akan kembali menarik
TNI untuk terlibat ke dalam isu sosial dan politik, sebagaimana yang terjadi
pada masa Orde Baru.
Di sisi lain, UU Terorisme kita juga masih belum mengatur tentang pelibatan
TNI dalam menanggulangi terorisme. Oleh karena itu, revisi atau penyempurnaan
UU Terorisme itu merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan.
*) anggota Komisi
Hukum DPR dari Fraksi PDI Perjuangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar