Sial betul nasib penganut Islam mazhab Syiah di Sampang. Pemkab di sana bulat-bulat menyetujui usulan para ulama se-Madura agar mereka, termasuk empat bayi yang lahir di GOR Sampang, ditolak kembali ke rumah, ladang, dan kampung mereka yang seluas 30 hektare di Karanggayam. Ini kado pahit yang kesekian mengingat mereka sudah 'diadili' oleh massa dan ulama di sana via penyerangan, perusakan, pengusiran, dan pembakaran (satu orang meninggal).
Atas nama mayoritas, juga ada kelompok yang secara sepihak menghilangkan hak konstitusional warga Nasrani GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia untuk beribadah di gereja. Mereka beralasan pelarangan itu karena gereja tak berizin, meski faktanya sudah ada pengesahan izin operasional dari Mahkamah Agung. Celaka, sebab sejumlah politisi Senayan ikut-ikutan membela Wali Kota Bogor yang membangkang dari putusan MA.
Nasib lebih sial ditanggung penganut Ahmadiyah. Jika di zaman Orde Lama mereka dapat ruang untuk berdebat terbuka, kini mereka hanya jadi sasaran pengadilan di luar pengadilan. Sudah tak terhitung cerita dan kisah getir mereka yang jadi bulan-bulanan penyerangan, pembakaran, penyegelan, dan kampanye-kampanye kebencian dari kelompok intoleran. Di NTB, lepas diusir dari kampung halaman, mereka hanya bisa tinggal di Wisma Transito—ini sudah masuk tahun ketujuh mereka hidup di pengungsian.
Daftar tragedi perampasan hak-hak konstitusional WNI seperti itu masih panjang, sebenarnya. Tapi, bila dicermati, modusnya kurang lebih sama: dimulai dari ormas-ormas intoleran yang menghalalkan kekerasan lalu 'disempurnakan' oleh kalangan aparat negara, yaitu pemerintah daerah, kepolisian, serta pejabat TNI setempat. Di satu sisi, aparat tidak menjalankan tugas mereka sebagaimana yang diamanatkan UU No.7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Di sisi lain, ada potret buram hukum keok di hadapan 'musyawarah' ormas dan elite pejabat (Muspida).
Lemah Kepemimpinan
Sejatinya, terseretnya aparat negara di daerah dalam urusan agama ini berlatar pembiaran dari Pemerintah Pusat (beberapa menteri malah mendukung kekacauan ini).
Contoh anyar bisa dilihat saat bermekarannya kritik dari kelompok-kelompok korban tindakan intoleran atas legitimasi presiden menerima Statesman Award. Istana dalam hal ini justru mempersalahkan pemda yang digambarkan gagal menyelesaikan masalah intoleransi. Sebaliknya, pemda melempar balik serangan dengan menyatakan bahwa masalah agama adalah urusan pemerintah pusat.
Celaka. Saling lempar tanggung jawab—atau lebih tepatnya mungkin "cuci tangan"—ini hanya memperburuk nasib minoritas karena tindakan konkret negara. Pemerintah pusat jelas tidak paham bahwa sumber permasalahan ini justru ada pada para pejabat/pemimpin daerah yang tidak mematuhi asas konstitusionalisme dalam memaknai pelaksanaan otonomi daerah. Modus pelanggaran terhadap asas ini kerap terkait dengan kepentingan pemenangan pemilukada.
Para cagub/cabup/cawali maupun pejabat berkuasa sering memolitisasi isu-isu agama yang sensitif, yang notabene bukan wewenang pemerintah daerah, untuk menangguk suara dalam pemilu. Di Jawa Barat, gubernur berkuasa membuat Nota Kesepahaman dengan FPI yang jelas-jelas pelaku aktif aneka kasus kekerasan kebebasan beragama. Di Sampang, gagasan pengusiran warga Syiah sudah jadi isu kampanye pemilukada dan, belakangan, materi hangat kampanye Pilgub Jawa Timur. Jangan heran jika para cabup dan cagub, saat berkuasa nantinya, bakal terbebani dan ditekan untuk mengeksekusi rencana relokasi penganut Syiah.
Ketidakpahaman pemerintah pusat juga berkaitan dengan pasokan informasi ke para menteri yang bias karena bersumber semata dari pemda dan tanpa verifikasi dari korban/kelompok minoritas. Kasus GKI Yasmin, misalnya, terkatung-katung karena Mendagri meminta Wali Kota Bogor untuk menyelesaikan masalah. Padahal problemnya justru ada pada Wali Kota yang membangkang menjalankan putusan MA.
Problem kepemimpinan yang lemah juga terjadi di lembaga kepolisian. Dalam kasus penyegelan Masjid Ahmadiyah di Bekasi, Kapolsek setempat justru melarang pasokan makanan ke dalam masjid yang menampung warga Ahmadiyah. Mereka juga tidak menghentikan aksi kelompok intoleran menyegel dan membedeng masjid itu dengan pagar tinggi. Miris. Ini seperti situasi perang di mana Israel memblokir pasokan makanan ke perkampungan Palestina sebagai bagian dari strategi perang. Alhasil, yang terjadi kemudian, seperti di banyak kasus lainnya, rakyat minoritas yang tidak melakukan tindakan pidana apa pun justru dikriminalisasi dan dijadikan musuh oleh pemkab, polisi/dandim yang seperti kompak berada di satu barisan dengan kelompok intoleran pelaku pidana perusakan dan penyerangan.
Meski kinerja aparat kepolisian mengecewakan, tapi mereka tetap perlu dilibatkan dalam penyelesaian aneka kasus intoleransi. Sebab, satu-satunya cara penyelesaian adalah dengan menegakkan dengan hukum--dan ini perlu polisi. Polisi harus aktif melakukan penindakan untuk mencegah kekerasan terjadi.
Para pelaku hate speech, provokator, pelempar kotoran, dan kencing ke kelompok minoritas harus dikriminalkan karena sudah memenuhi delik pidana. Pasal-pasal umum maupun berdasar pengaduan yang relevan juga lebih dari cukup tersedia, mulai dari perusakan fasilitas umum, menggerakkan kebencian, penyerangan, dll. Tinggal faktornya adalah komitmen Polri menegakkan asas perlindungan, pengayoman, maupun pelayan masyarakat selain menegakkan tugas primer sebagai penegak hukum.
Dalam penindakan, polisi juga harus introspeksi bagaimana menegakkan hukum demi keadilan—bukan menggunakan hukum untuk melayani dikte kelompok intoleran. Tragedi KH Tajul Muluk di kasus Sampang atau penghukuman Kasus Cikeusik, di mana hukum menghukum para korban sedang pelaku kekerasan dibebaskan, tidak boleh lagi terulang. Demikian pula kriminalisasi Kejaksaan atas pendeta Palti Panjaitan yang menjadi sasaran kekerasan kelompok intoleran juga harus segera dihentikan.
Catatan khusus juga untuk Kementerian Agama. Mereka semestinya lebih produktif dengan mengalihkan anggaran penanganan konflik menjadi anggaran program pencegahan konflik dan bimbingan masyarakat. Dengan pendidikan toleransi dan deradikalisasi, kita bisa berharap tak ada lagi cerita penyerangan kelompok minoritas.
Alhasil, semua berpulang pada 'the tone of the top' di negeri ini yaitu kepemimpinan dan komitmen politik mereka pada toleransi dan perdamaian. Permasalahan intoleransi hanya bisa diselesaikan oleh tindakan nyata, bukan perkataan para pemimpin. Rakyat perlu komitmen politik bukan komitmen moral para pemimpin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar