Politikindonesia - Larangan perempuan mengangkang atau duduk seperti pria di atas sepeda motor yang diterapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Lhokseumawe, Banda Aceh menuai kontroversi. Banyak yang tidak setuju dengan raperda tersebut karena dianggap tidak bijak dan tidak mempunyai tujuan yang jelas.
Salah satu yang tidak setuju adalah anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Eva Kusuma Sundari. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini merasa perda tersebut tidak bijak dan mengabaikan keselamatan perempuan saat mengendarai sepeda motor. “Peraturan itu tidak bijak karena mengabaikan keselamatan para wanita saat berkendara di jalanan," kata Eva kepada politikindonesia.com di Gedung DPR, Jakarta, Senin (07/01).
Perda yang diterbitkan Pemkot Lhokseumawe itu dalam pandangannya sangat diskiriminatif serta tidak masuk akal. “Peraturan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik. Karena seharusnya kebijakan publik itu membuat warga menjadi nyaman dan aman, bukan malah sebaliknya merasa resah dan tidak nyaman," ujar dia.
Kepada Elva Setyaningrum, Eva mengemukakan pandangannya serta berharap Pemkot Lhokseumawe mengkaji kembali aturan itu. Berikut hasil wawancaranya.
Bagaimana pendapat Anda tentang larangan ‘mengangkang’ pada Perda Pemkot Lhokseumawe itu?
Saya sangat sedih sekaligus kecewa atas dicetuskannya larangan tersebut. Saya menilai peraturan tersebut tidak masuk akal dan tak bijaksana. Aturan itu mengabaikan keselamatan para wanita saat berkendara di jalanan. Sebenarnya, dengan duduk mengangkang saat dibonceng, maka keadaan motor dan penumpangnya menjadi lebih stabil dibandingkan jika wanita harus duduk menyamping saat dibonceng. Jadi kita lihat saja, apakah peraturan ini akan berlangsung efektif atau justru sebaliknya.
Kenapa Anda menilai peraturan tersebut tidak masuk akal?
Ya, memang tidak masuk akal. Di negara Islam lainnya seperti di Malaysia, kaum perempuannya justru diwajibkan duduk mengangkang saat dibonceng di atas motor. Karena alasannya adalah aspek keseimbangan dan keamanan lalu lintas. Itu di Malaysia yang negaranya sudah pakai hukum Islam. Karena, kebijakan di Malaysia itu, justru lebih mempertimbangkan rasa aman dan nyaman berkendara. Kebijakan di Lhokseumawe seharusnya membuat aman, tidak meresahkan. Kebijakan kok malah meresahkan dan merepotkan perempuan.
Apa alasan Anda tidak menyetujui peraturan tersebut?
Selain tidak masuk akal. Saya juga melihat peraturan tersebut sudah mengabaikan aspek keselamatan berkendaraan. Apalagi peraturan tersebut akan segera diterapkan di Lhoksumawe, Aceh dan kabarnya akan dikembangkan jadi sebuah regulasi tetap. Jadi sebenarnya, peraturan itu tidak untuk kepentingan publik karena hanya disusun berdasarkan prasangka dan kecurigaan subyektif sehingga tidak sesuai dengan kebijakan publik.
Tetapi peraturan tersebut dikaitkan dengan segi agama Islam?
Jika memang peraturan tersebut dikaitkan pada segi agama, di mana agama Islam terasa sangat kental di wilayah Aceh, tapi di negara seperti Malaysia saja yang menerapkan hukum Islam lebih ketat, masih mengizinkan para wanita untuk duduk mengangkang saat dibonceng. Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam menentukan prioritas mana yang harus diutamakan. Apalagi, mengangkang di sepeda motor itu secara sistem nilai dan sopan santun masih diperdebatkan.
Lalu, apa harapan Anda dengan adanya pemberlakuan peraturan tersebut?
Saya meminta kepada pemerintah setempat seharusnya lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan perempuan, seperti pembuatan layanan kesehatan dan posyandu hingga upaya menurunkan angka kematian ibu. Jadi jangan hanya mengedepankan keinginan para ulama, tapi mengedepkan kepentingan masyarakat. Selain itu, saya juga berharap, hal ini bisa menjadi perhatian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Karena peraturan-peraturan diskriminatif sangat mudah dikeluarkan, tetapi susah dicabut. Jadi, sepertinya uang lebih penting dibandingkan hak asasi perempuan. Semoga pemerintah benar-benar dapat mempertimbangkan kembali segi baik dan buruknya dari peraturan tersebut.
(eva/kap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar