Meski
RI tidak meratifikasi Statute Roma tetapi Presiden Joko Widodo
seyogyanya memperhatikan rekomendasi dari International People’s
Tribunal maupun hasil dari kedua simposium soal tragedi 1965 di Jakarta,
dengan membentuk sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, melalui
Keppres.
“Banyak negara, termasuk di Amerika Latin maupun Afrika,
membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi lewat keputusan presiden,”
kata Eva Sundari.
Temuan-temuan tersebut menyimpulkan bahwa
terjadi beberapa pelanggaran hukum internasional maupun nasional dalam
tragedi 1965: pembunuhan massal, pemenjaraan, penghilangan paksa,
kekerasan seksual, diskriminasi terhadap korban dan keturunan dan
seterusnya.
Eva Sundari mengacu pada sebuah laporan dari
International Center for Transitional Justice, yang dibuat di Brazil,
berjudul, “Truth Seeking: Elements of Creating an Eff ective Truth
Commission”
https://www.ictj.org/sites/default/files/ICTJ-Book-Truth-Seeking-2013-English.pdf
Laporan tersebut memaparkan mengapa kebenaran penting sekali buat
belajar soal masa lalu, menutup luka di kalangan korban, keluarga korban
maupun keturunan mereka, serta memetakan jalan buat masa depan.
Berbagai
negara, termasuk beberapa negara di Amerika Latin, Maroko di Afrika
maupun Timor Timur, berhasil mempelajari masa lalu mereka serta bergerak
maju tanpa beban sejarah. Indonesia dengan tragedi 1965 dan Turki
dengan genosida terhadap etnik Armenia pada 1915, termasuk negara yang
masih harus berjuang buat menutup luka mereka.
“Kita tak bisa
terus-menerus tak mau menutup tragedi 1965. Kita tak boleh meninggalkan
pekerjaan besar ini kepada anak atau cucu kita. Kita harus melakukan
rekonsiliasi dan rekonsiliasi harus dilakukan berdasarkan sesuatu dan
sesuatu tersebut adalah kebenaran,” kata Sundari.
Ada tiga
tujuan dalam pembentukan komisi kebenaran: (1) pencarian kebenaran
dengan memberikan tempat dan waktu kepada korban dan keturunan mereka,
plus beberapa pelaku pembunuhan, buat bersaksi soal tragedi 1965; (2)
pemberikan perlindungan kepada mereka yang hendak bersaksi dari
kemungkinan intimidasi dan diskriminasi; (3) restorasi terhadap hak
orang-orang dan keturunannya yang selama ini mengalami diskriminasi
akibat 1965.
Komisi ini akan membuka forum kesaksian di berbagai
kota di Indonesia. Komisi akan merekam dan mencatat kesaksian. Ia
lantas akan dibukukan atau dibuatkan situs web. Ia akan jadi acuan buat
bangsa Indonesia belajar tentang kebenaran –bukan propaganda seperti
yang selama ini terjadi.
“Presiden Jokowi akan melakukan hal
yang sangat berguna buat masa depan bangsa Indonesia dengan membentuk
komisi kebenaran. Jumlah anggota komisi seyogyanya ganjil, bisa tujuh
sampai 15 orang, bekerja selama tiga tahun. Hasilnya, adalah sebuah buku
putih,” kata Sundari.
Temuan dan rekomendasi dari Den Haag
sebenarnya tidak berbeda dari temuan Komnasham karena kebenaran sejarah
tidak bisa dibelokkan. Sayang Pemerintah yang lalu tidak ada kemauan
(unwillingly) untuk penegakkan HAM sehingga tidak memunculkan kemampuan
penyelesaian (unable) bagi penyelesaiannya sebagaimana ditunjukkan sikap
Kejaksaan Agung yang menggantungkan laporan Komnasham terkait kasus
1965 maupun pelanggaran lainnya dalam ketidakpastian.
Presiden
sepatutnya menjadi pemutus lingkaran propaganda pengingkaran fakta
pelanggaran HAM kepada para korban 1965 yang memang sudah menjadi janji
kampanye pilpres di Nawacita.
Penyelesaian melalui mekanisme KKR
(bukan peradilan hukum) yang paling tepat karena korban pelanggaran
bukan saja keluarga PKI tapi juga BK dan para aktivis PNI. Catatan
sejarah juga menunjukkan para korban termasuk anggota militer akibat
konflik atasan/elit dalam tubuh militer. Saatnya kita jadi bangsa yang
dewasa, mengakui kesalahan masa lalu agar kita bisa melakukan lompatan
maju.
Surabaya, 22/7/16, Eva Kusuma Sundari angg kom XI FPDIP dan waka APHR (Asean Parliamentarians for Human Rights)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar