Semarang, Antara Jateng: Ketua Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) Eva Kusuma Sundari
memandang perlu Indonesia menerapkan konsep keadilan transisional (transitional
justice) agar tidak membiarkan pelanggaran HAM masa lalu.
“Semua pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu
dibiarkan menggantung dan coba dikompensasi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi
yang faktanya tanpa disertai pemertaan,” kata Eva melalui pesan singkatnya
kepada Antara di Semarang, Rabu.
Sebelumnya, dalam Seminar Cross Country Inter-Party
Collaboration yang diorganisasi Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) di
Jakarta, Selasa (29/10/2013), Eva mengatakan bahwa demokrasi Indonesia belum jadi
model untuk “transitional justice” dan kesejahteraan
Jika keadilan dan kesejahteraan merupakan indikator dari
demokrasi substansial, jelas Indonesia bukan model bagi Myanmar. Berbeda dari
demokratisasi di Amerika Latin, bahkan di Timor Leste, “transitional justice”
tidak pernah dilaksanakan di Indonesia.
Fakta-fakta tersebut menjadi bahan diskusi dalam seminar yang
menampilkan tiga panelis, antara lain Ketua APHR (ASEAN Parliamentarians for
Human Rights) Eva K. Sundari, Hkyet Thing Nan dari Unity and Democracy Party
mewakili Kachin State di Parlemen Myanmar, dan Ignas Kleden dari KID.
Namun diakui oleh Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI
Perjuangan DPR RI, demokrasi Indonesia sering dipuji meski masih kategori
prosedural.
Ia lantas mencontohkan Myanmar, Indonesia juga terbelit berbagai
masalah seperti melebarnya gap ekonomi, konflik atas tanah, kekerasan terhadap
kelompok minoritas, impunitas, dan terutama korupsi.
Pembelajaran dari reformasi Indonesia harus dikaitkan dengan
amandemen UUD 1945 yang merupakan “landscape” reformasi politik dan ekonomi di
RI. Hal ini relevan karena konstitusi Myanmar saat ini mirip dengan UUD 1945
zaman Orde Baru.
“Selain dominasi presiden, memuat pula prinsip ‘dwifungsi
militer’, termasuk jaminan 20 persen kursi parlemen untuk militer aktif di
setiap pemilu,” kata calon anggota DPR RI periode 2014–2019 dari Daerah
Pemilihan Jawa Timur VI itu.
Menurut dia, meski Myanmar akan melaksanakan pemilu pada tahun
2015, tidak akan berdampak besar pada komposisi kekuasaan. Politik Myanmar akan
tetap mencerminkan supremasi militer di pemerintahan.
“Suatu anomali dalam
demokrasi dan merupa sebab pokok reformasi digulirkan di Indonesia,” kata Eva
yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI. [Antaranews]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar