Selasa, 12 November 2013

Eva: Indonesia Perlu Terapkan Konsep Keadilan Transisional

Semarang, Antara Jateng: Ketua Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) Eva Kusuma Sundari memandang perlu Indonesia menerapkan konsep keadilan transisional (transitional justice) agar tidak membiarkan pelanggaran HAM masa lalu.
“Semua pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu dibiarkan menggantung dan coba dikompensasi dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yang faktanya tanpa disertai pemertaan,” kata Eva melalui pesan singkatnya kepada Antara di Semarang, Rabu.
Sebelumnya, dalam Seminar Cross Country Inter-Party Collaboration yang diorganisasi Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) di Jakarta, Selasa (29/10/2013), Eva mengatakan bahwa demokrasi Indonesia belum jadi model untuk “transitional justice” dan kesejahteraan
Jika keadilan dan kesejahteraan merupakan indikator dari demokrasi substansial, jelas Indonesia bukan model bagi Myanmar. Berbeda dari demokratisasi di Amerika Latin, bahkan di Timor Leste, “transitional justice” tidak pernah dilaksanakan di Indonesia.
Fakta-fakta tersebut menjadi bahan diskusi dalam seminar yang menampilkan tiga panelis, antara lain Ketua APHR (ASEAN Parliamentarians for Human Rights) Eva K. Sundari, Hkyet Thing Nan dari Unity and Democracy Party mewakili Kachin State di Parlemen Myanmar, dan Ignas Kleden dari KID.
Namun diakui oleh Eva yang juga Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, demokrasi Indonesia sering dipuji meski masih kategori prosedural.
Ia lantas mencontohkan Myanmar, Indonesia juga terbelit berbagai masalah seperti melebarnya gap ekonomi, konflik atas tanah, kekerasan terhadap kelompok minoritas, impunitas, dan terutama korupsi.
Pembelajaran dari reformasi Indonesia harus dikaitkan dengan amandemen UUD 1945 yang merupakan “landscape” reformasi politik dan ekonomi di RI. Hal ini relevan karena konstitusi Myanmar saat ini mirip dengan UUD 1945 zaman Orde Baru.
“Selain dominasi presiden, memuat pula prinsip ‘dwifungsi militer’, termasuk jaminan 20 persen kursi parlemen untuk militer aktif di setiap pemilu,” kata calon anggota DPR RI periode 2014–2019 dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI itu.
Menurut dia, meski Myanmar akan melaksanakan pemilu pada tahun 2015, tidak akan berdampak besar pada komposisi kekuasaan. Politik Myanmar akan tetap mencerminkan supremasi militer di pemerintahan.

“Suatu anomali dalam demokrasi dan merupa sebab pokok reformasi digulirkan di Indonesia,” kata Eva yang juga anggota Komisi III (Bidang Hukum, HAM, dan Keamanan) DPR RI. [Antaranews]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar