KOMPAS, 9 September 2013
Jokowi adalah meteor di alam raya politik republik ini. Elektabilitasnya
melesat jauh di atas pesaing-pesaingnya. Alhasil, percakapan politik pun hanya
mengerucut pada dua pilihan: Jokowi atau kompetisi.
Artinya, jika Jokowi mencalonkan diri, maka tidak ada kompetisi sama
sekali. Kompetisi baru sengit jika Jokowi tetap setia mengurus Jakarta. Ini
wajar saja. Namun, politik terlalu sederhana jika pilihannya hanya Jokowi atau
kompetisi. Politik yang sederhana tidak menarik. Politik baru menarik jika
menjadi arena perebutan kekuasaan oleh calon-calon pemimpin yang sama kuat.
Persoalannya, partai-partai saat ini tidak mampu melahirkan kader terbaik.
Di pihak lain, kelompok-kelompok nonpartai mengidap alergi politik yang akut.
Tak heran, Jokowi ibarat setetes air di bejana kosong politik republik ini.
Partai tokoh
Sesudah Orde Baru, berbagai kelompok politik pun berhamburan keluar dari
persembunyiannya. Sebagian menetap di masyarakat sipil. Sebagian lain memasuki
masyarakat politik. Mereka yang memasuki politik pun menjajal medan baru yang
menyimpan sejuta misteri. Salah satu misteri adalah ”apa syarat mungkin sebuah
organisasi politik?” Sebagian menjawab: ideologi. Sebagian lain tidak percaya
ideologi. Mereka yang antipati terhadap ideologi lebih memilih tokoh sebagai
syarat mungkin organisasi. Tokoh melahirkan partai dan bukan sebaliknya.
Pikiran semacam ini menemukan materialisasinya pada Partai Demokrat. Kita
semua tahu bahwa SBY yang melahirkan Partai Demokrat, bukan sebaliknya. Ibarat
anak balita, tumbuh-kembang Partai Demokrat seayun dengan tumbuh-kembang SBY.
Logikanya, partai dibangun untuk meloloskan orang, bukan ide. Hal yang sama
akhirnya ditiru Gerindra dan Hanura. Prabowo melahirkan Gerindra dan Wiranto
melahirkan Hanura. Akhirnya nasib partai pun seperti rokok. Kita ingat
”Prabowo” ketika mendengar ”Gerindra”.
Partai-partai gurem pun tidak mau ketinggalan. Sutiyoso melahirkan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia. Sri Mulyani melahirkan Partai SRI. Semuanya
berpikiran sama: membuat partai untuk meloloskan orang. Soal ide bisa diurus
belakangan. Akibatnya, jagat politik Republik hanya diramaikan segelintir
orang. Pertarungan politik hanya terjadi di antara ketua dan tokoh partai.
Pertarungan antara Gerindra dan Hanura sejatinya adalah pertarungan antara
Prabowo dan Wiranto. Bukan pertarungan antarorganisasi. Hidup-mati partai pun
terpulang pada elektabilitas calon presidennya.
Partai pun bergerak tanpa mesin. Penggerak utama partai hanyalah ketokohan
calon presidennya. Tak heran Partai Demokrat membuat ”konvensi anomali” yang
mengundang tokoh-tokoh nonkader. Partai Demokrat seperti hendak mencari SBY
Jilid Dua yang bisa mendongkrak elektabilitas partai. Setelah sempoyongan
dihajar korupsi, Demokrat berharap terjadinya ”kelahiran kedua” pascakonvensi.
Metode ini menunjukkan betapa partai defisit kader akibat terlalu berporos pada
tokoh. Partai-partai yang dilahirkan oleh dan untuk tokoh harus berhati-hati
karena juga akan mengalami hal yang sama. Saat partai kehilangan tokoh, maka
dia akan sibuk memunguti pemimpin di jalanan.
Saat ini partai yang berjubel kader hanya PDI Perjuangan. Jokowi bisa
dibilang hanya salah satu kader terbaik PDI-P. Kita sebut saja nama-nama seperti
Rustriningsih, Ganjar Pranowo, Budiman Sudjatmiko, Aria Bima, dan Eva Sundari.
Mereka adalah sederet kader yang masa depan politiknya masih panjang dan cerah.
Memang perjuangan mereka di dalam partai tidak mudah. Namun, hanya pertarungan
politik internallah yang dapat melancipkan kemampuan politik seseorang. Pisau
tidak diasah dengan kertas. Pisau hanya bisa diasah dengan batu.
Tanpa Jokowi
Megawati memang masih menjadi tokoh sentral di PDI-P. Namun, berbeda dengan
Demokrat, PDI-P tidak perlu mencari-cari calon presiden dari luar. Stok capres
PDI-P cukup banyak. Kepala-kepala daerah PDI-P yang kapabel (selain Jokowi)
tidak sedikit. Ini menunjukkan betapa di PDI-P, partailah yang melahirkan
orang, bukan sebaliknya. Partai dibangun bukan untuk merebut jabatan presiden
belaka, melainkan memastikan pemerintahan dijalankan sesuai dengan patokan
ideologisnya.
Demokrasi membutuhkan partai-partai yang berjubel kader. Jika tidak,
demokrasi hanya diisi pemimpin-pemimpin politik karbitan. Partai, bagi saya,
adalah sekolah politik sesungguhnya. Memang, pedagang dan akademisi juga
sekolah. Namun, sekolah pedagang dan akademisi tidak menajamkan kemampuan
politik seseorang. Di dalam dunia bisnis dan universitas juga terdapat
kompetisi yang sengit. Namun, kompetisi bukan pertarungan politik. Pertarungan
politik adalah tegangan antara dua kekuatan ideologis yang tidak
mengenal win-win solution. Partai pun tak lain adalah koloseum tempat
berlatih para petarung politik.
Partai juga merupakan sekolah tempat orang ditempa kapasitas pengelolaan
teritorialnya. Jokowi adalah contoh yang menarik. Dia tidak muncul tiba-tiba di
jajaran elite nasional. Dia ditempa dulu sebagai eksekutif di Solo. Setelah itu
baru dia naik ke provinsi sebesar Jakarta. Partai perlu secara sengaja menciptakan
rekam jejak bagi kadernya. Semuanya harus direncanakan secara matang. Tidak
bisa seorang akademisi mendadak jadi calon presiden. Tanpa kemampuan politik
dan rekam jejak teritorial yang memadai, jangan harap seseorang dapat menjadi
presiden yang mumpuni.
Meroketnya Jokowi tidak tiba-tiba. Semuanya berproses. Kejenuhan pada model
kepemimpinan yang elitis memang berpengaruh. Namun, Jokowi tetap merupakan
sebuah produk sebuah organisasi politik yang matang. Jokowi bergantung pada
PDI-P, tetapi hidup-mati PDI-P tidak bergantung pada Jokowi. Partai tidak
diukur dari elektabilitas calon presidennya. Partai diukur dari jumlah kader
terbaik yang dihasilkannya. Konvensi Partai Demokrat di Amerika Serikat
beberapa waktu yang lalu, misalnya, adalah pertarungan antara dua kader terbaik
partai: Hillary Clinton dan Barack Obama.
Jadi, sekali lagi, politik jangan terjebak pada pilihan-pilihan yang
sederhana. Jokowi jelas terlalu kuat bagi pesaing-pesaingnya. Politik baru
menarik jika pertarungan terjadi di antara kader-kader terbaik dengan selisih
elektabilitas yang tipis. Saya bermimpi setiap partai kelak membuat konvensi
untuk mendapatkan kader terbaik dari kader-kader terbaiknya. Kader terbaik
itulah yang akan bertarung melawan kader terbaik partai lain. Saya merindukan
satu saat nanti diskusi politik di republik ini tidak melulu bicara soal tokoh
sebab saat itu kita sudah melupakan Jokowi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar