Rabu, 17 Juli 2013

“Indonesia Semakin Mengkhawatirkan”

INDONESIA2014 - Demokrasi membuka peluang bagi partisipasi perempuan, namun demokrasi kita kini disertai dengan adegan kekerasan dan intoleransi. Yang menjadi korban adalah pihak yang paling rentan. Mereka terdiri dari kelompok perempuan, para penyandang kebutuhan khusus, pemeluk agama minoritas, hingga kaum gay dan lesbian. Bagi anggota Komisi III, DPR RI ini, demokrasi jalin menjalin dengan kesejahteraan, karena substansi demokrasi adalah kesejahteraan itu sendiri. Ditemui di Gedung Nusantara II, DPR RI, 5 Desember 2012 lalu, Eva, demikian panggilan akrabnya, menuturkan pandangannya tentang kaitan antara demokrasi, kesejahteraan dan perlindungan kelompok minoritas kepada INDONESIA 2014. Berikut penuturan selengkapnya. Bagaimana anda melihat perkembangan demokrasi Indonesia? Platform saya adalah isu jender, hak kaum minoritas dan kesejahteraan. Substansi demokrasi adalah kesejahteraan. Kita cukup bangga dengan pertumbuhan ekonomi. Tapi ini pertumbuhan ekonomi yang tidak menghasilkan penambahan tenaga kerja, karena basisnya konsumtif dan source of growth-nya dari tambang yang ekstraktif. Ditambah dengan politik pembangunan yang titik beratnya masih di perkotaan. Ini salah satu penyebab jumlah TKI naik luar biasa. Pertumbuhan naik, tapi disertai maraknya kekerasan yang disebabkan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural membatasi akses dan kontrol rakyat terhadap sumber daya yang ada di lingkungannya, terutama tanah dan tambang. Konfirmasi data-data dari Komnas HAM, menunjukkan kekerasan di tingkat lokal naik luar biasa. Kemiskinan di daerah hinterland terjadi karena tidak ada kanal untuk menangkap stagnannya de-industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi pedesaan. Ini menyebabkan pertumbuhan TKI yang luar biasa, tapi tidak mendapat perlindungan dari negara, sehingga kasus-kasus TKI juga luar biasa. Ke depan human trafficking makin intensif. Bahkan sekarang Indonesia sudah masuk dalam jebakan human trafficking ini. Aspek ini akumulatif sifatnya, karena tidak ada perspektif pro kesejahteraan dari pemimpin. Lebih kepada pro image. Saya sangat menyesali politik Indonesia yang bergeser, dari yang harusnya berbasis kinerja, tertular strategi Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang berbasis pencitraan. Reklame kementerian digenjot, bupati-bupati pasang baliho, tapi HDI kita melorot, dan angka capaian MDG’s kita yang direklamekan Pak SBY, sejak periode awal, itu tidak tercapai. Ketika ini tidak tercapai, bergeser ke isu baru yang Pak SBY juga ketuanya. Ini ironis. Dipuji karena pertumbuhan ekonominya bagus, tapi kualitas pertumbuhannya buruk. Ini berdampak pada status perempuan yang diperburuk dengan fundamentalisme. Dampaknya adalah akses perempuan terhadap kesempatan kerja, Hak Sipil Politik menurun. Ini ironi bagi demokrasi kita, karena demokrasi kita buta terhadap isu jender. Teman-teman laki-laki yang bergerak di bidang HAM juga tidak pernah bicara tentang bagaimana status perempuan yang semakin buruk karena formalisasi Islam. Kelompok minoritas makin tertekan karena pejabat banyak yang bilang,”Kenapa tidak ikut mayoritas?” Indonesia ke depan semakin mengkhawatirkan, kalau pemimpinnya lemah dan tidak tegas terhadap sabotase-sabotase demokrasi, yang menyebabkan makin tidak terlindunginya minority’s right, termasuk di dalamnya kelompok agama minoritas, perempuan, diffable, gay dan lesbian. Demokrasi kita bisa tidak lolos ujian, karena ujian bagi demokrasi, ketika kelompok minoritas tidak menjadi target penyerangan. Bukan hanya Kristen yang diserang, tapi juga Syiah, Ahmadiyah, dsb. Ironi demokrasi adalah ketika arena terbuka untuk siapapun, tapi negara tidak hadir, sehingga kontestan di arena terbuka, baik yang anti demokrasi dan yang demokratik, menjadi imbalance. Ke depan, siapa yang bisa menyelesaikan hal-hal tersebut adalah sosok yang punya kepemimpinan yang kuat, tegas, dan pro konstitusi. Juga kapasitas, kompetensi, komitmennya bisa diukur. Tidak hanya ingin tampil manis secara personal, tapi berani meresikokan nama baik untuk membela kebenaran. Saya bayangkan seperti Obama, ini tidak mungkin terjadi di Pak SBY, ketika ingin membangun masjid di Ground Zero. Dia pasang badan dengan resiko dimaki-maki orang Kristen yang menjadi mayoritas di sana. Nah, kualitas pemimpin seperti Obama itulah yang kita perlukan untuk mengatasi trend undemocratic forces yang makin kuat di Indonesia. Kenapa mereka makin menguat? Karena negara tidak tegas, bahkan sebagian dari aparat negara ikut logika dan paradigma kelompok fundamentalis, dan tidak menghormati hukum, konsensus dan komitmen. Premanisme dalam politik tidak ditundukkan oleh negara. Mungkinkah pemimpin seperti itu bisa lahir dalam sistem pemilu seperti sekarang? Saya orang yang optimis, yang percaya bahwa pemimpin tidak dilahirkan tapi diciptakan. Artinya, ada ruang untuk membangun sistem, mengintervensi rekrutmen, agar orang seperti Jokowi bisa lolos. Harus ada partisipasi publik, ada relawan aktif yang bergerak bersama. Saya percaya itu bisa tercapai, kalau ada kesadaran dan gerakan bersama untuk menjaga proses rekrutmen, supaya tidak dibajak oleh orang-orang yang tidak bisa menyelesaikan masalah tapi malah ikut menyumbang masalah. Preseden Pilgub DKI menjadi ekspektasi kita. Indonesia punya reputasi civil society yang kuat. Harus dibangun konsensus bersama. Tekan parpol, tekan media untuk masuk dalam agenda rakyat. Artinya sistem pemilunya memungkinkan? Ya, karena bagaimanapun pemilik suara adalah rakyat. Rakyat kadang tidak punya pilihan, karena yang muncul di pemilu adalah orang-orang yang ditentukan parpol, tapi belum tentu mewakili keinginan rakyat Sejak hulu bisa diintervensi. Pedagang batik dan Andrinof (chaniago, UI) merekomendasi Jokowi ke PDIP. Jadi, setiap tahap rekrutmen bisa diintervensi oleh masyarakat. Ketika sudah mendapat rekomendasi, kita gerakkan masyarakat untuk bergerak bersama. Kita bilang bahwa kita tidak punya pilihan lain, kalau tidak, lima tahun ke depan lebih rusak lagi. Saya percaya kekuatan sipil dan rakyat untuk memaksa partai dan negara supaya waras. Buktinya, DPR gagal bangun gedung, gagal untuk lakukan kunjungan kerja. Itu karena intervensi civil society. Jadi ada potensi, tinggal engineering dan leadership-nya. Nah, civil society ini seringkali harus menekan parpol dan legislatif. Bagaimana dengan parpol sendiri, apakah mereka melakukan seperti yang civil society lakukan? Parpol itu core business-nya image, reputasi. Kalau sudah mendapat desakan bisa berubah. Parpol naturalnya berusaha untuk berbuat sesuai atau seolah sesuai kehendak publik. Tidak ingin melawan kehendak publik. Apalagi untuk yang sifatnya popularitas, itu penting. Kecuali untuk soal yang prinsipil seperti soal gereja, kekerasan ormas, dsb. Jadi tetap ada peluang, karena parpol butuh publik. Ada beberapa pihak yang minta mengkaji ulang besaran angka di pasal 9 UU No 42/2008. Isu tentang sosok yang baik dengan (PT) presidential threshold, harus dijelaskan dulu. Apakah ada jaminan kalau PT-nya direndahkan calon-calon yang muncul akan bagus? Kan belum tentu juga. “Kita tidak bisa apa-apa karena PT-nya sekian!” Itu kan cara berpikir orang kalah. Di manapun peluang ada, harus dimaksimalkan. Jangan berpikir bahwa syarat-syarat terpenuhi dulu baru bisa berjuang. Proses parpol memunculkan calon bagaimana? Menghitung publik. Itu kenapa kami melakukan riset berkali-kali sebelum mengeluarkan rekomendasi. Itu untuk menghitung elektabilitas dan selera pasar. Beberapa kali terbukti calon yang dimunculkan parpol tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Partaipun belajar pada akhirnya. Maunya pasar sekarang kan calon yang muda, punya integritas, dan bukan maling. http://www.indonesia-2014.com/read/2012/12/07/%E2%80%9Cindonesia-semakin-mengkhawatirkan%E2%80%9D#.UeUatzuw2r

Tidak ada komentar:

Posting Komentar