Nama Eva Kusuma Sundari tidak asing lagi dalam perpolitikan nasional,
khususnya Dewan Perwakilan Rakyat. Politisi PDI Perjuangan ini satu dari
perempuan yang menghiasi wajah senayan sehingga lembaga ini tampil lebih
enerjik dan anggun. Bukan itu saja, Eva-demikian ia biasa disapa-menjadikan
perdebatan diruang siding menjadi lebih maskulin karena sangat bernas, terbuka
dan logis. Ia mengelola emosi, dan tidak meledak-ledak ketimbang politisi laki-laki
kebanyakan.
Politisi kelahiran nganjuk, Jawa
Timur, 8 Oktober 1965 ini mulai diperhitungkan ketika getol memperjuangkan
kasus Bank Century-sebuah kasus yang merugikan negara trilliunan rupiah. Saking
intensnya, Eva sering dipanggil dengan embel-embel “Eva Bank Century”. “Eh saya
jadi terkenal. Orang sering menyapa, Bu Eva yang Century itu ya…haha. Saya
bangga karena public mengapresiasi kinerja tim PDI Perjuangan saat itu dan saya
menulis buku tipis sebagai laporan ke Fraksi dan DPP” ujarnya kepada Majalah
Lider.
Jebolan Magister Economics and Development Economics Faculty of Economics,
University of Nottingham, Inggris, 2000 dan Magister Politics of Altenative Development Strategy, Institut of
Social Studies, The Hague, Belanda, 1996 ini tampil tanpa tending
aling-laing. Bicaranya keras, tegas dan tidak takut-walau bersebrangan dengan
kekuatan besar dan penganut kekerasan fisik sekalipun. Sikapnya yang tak kenal
kompromi terhadap kebenaran itu, tak ayal membuat keluarganya kuatir. “Takutlah,
karena mereka (FPI) kan penganut kekerasan (baik verbal maupun fisik) dan tidak
sungkan melakukan pelanggaran hukum atas nama agama. Tapi saya lebih takut jika
kita semua berhasil ditakuti, dibungkam dan akhirnya mentoleransi kekerasan
atas nama agama (apapun), “ujar istri diplomat Timor Leste, Jose Antonio Amorim
Dias.
Walau demikian, rasa takut itu harus
kalah oleh tanggung jawabnya sebagai politisi, yang harus bicara lantang dan
menunjuk sikap tegas menolak terhadap berbagai bentuk kekerasan. Pengagum Bung
Karno dan Gandhi ini terus mengkritisi berbagai ketidakberesan yang ada dalam
masyarakat, dan dunia politik khususnya. Ia ibarat “elang yang tidak takut
walau terbang sendirian”.
Bagaimana perjalanan singkat karier Anda hingga menjadi politisi di senayan yang mewakili PDI Perjuangan?
Saya tidak akan bias masuk politik
tanpa adanya kebijakan afirmasi kuota perempuan di Pemilu 2004. Bu Tjip (istri
alm Sekjen PDIP, Pak Sutjipto) meminta Mas Pramono Anung (Wasekjen saat itu) untuk merekrtu saya karena
saya aktif menjadi trainer pelatihan-pelatihan politik untuk kader-kader
perempuanpartai politik. Latar belakang
pendidikan, profesi dosen FE Unair, peneliti isu-isu gender (kompetensi)
menjadi dasar pertimbangan perekrutan terhadap saya. Pada pemilu 2004 saya
mewakili Dapil Jatim 5 Malang Raya.
Bagaimana pengalaman pertama Anda di Senayan?
Selama priode pertama saya sudah
menerima tugas cukup berat, dimulai dari anggota panitia khusus (pansus) UU
Trafiking dan pornografi, anggota Banggar, dan termasuk mendirikan BAKN (Badan
Akuntabilitas Keuangan Negara) sebagai jawaban keluhan masyarakat atas tidak
adanya peran DPR dalam skema pemberantasan korupsi. Pemilu 2009 saya dipindah Dapil ke Jatim 6 (Blitar-Kediri-Tulungagung)
dan Alhamdulillah di pemilu 2014 Dapil saya tetap. Sepanjang bertugas untuk dua
priode di Senayan saya ditempatkan di Komisi III. Kemudian, ditempatkan di
Komisi XI, namun tidak lama karena hanya setahun lalu balik lagi ke Komisi III.
Saya juga merupakan anggota BAKN.
Parameter Majalah Lider untuk seorang pemimpin dibidang apapun adalah integritas profesionalitas dan personalitas. Bagaimana Anda memaknai ketiga keutamaan tersebut sepanjang karier Anda?
Integritas adalah kombinasi antara
moralitas dan profesionalitas. Artinya kompensasi dan moralitas harus saling
melengkapi, tapi dua-duanya harus ada karena merupakan satu-kesatuan tidak
terpisahkan. Bagi saya tiga factor itu (integritas, profesionalitas, dan
personalitas) bersama-sama berfungsi sebagai input, yang akan menentukan output dan outcome kerja-kerja termasuk kepemimpinan politik.
Untuk konteks Indonesia yang masih
korup, misalnya, harapan rakyat terhadap pemimpin yang memiliki kualifikasi
integritas merupakan factor penting karena pemimpin harus menyelesaikan masalah
bangsa (korupsi) bukan justru bagian dari masalah (ikut korup). Moralitas
penting. Tapi pemaknaan moralitas harus luas, tidak cukup berupa aksesori
moralitas individu (misalnya title haji, baju muslim, suka pakai bahasa arab).
Moralitas harus sampai pada social
religious yakni tidak korup, memelihara persatuan, belas kasih kesesama,
adil, jujur dan nasionalis (cinta rakyat/NKRI). Dengan kata lain, habluminallah dan habluminannas berimbang.
Terkait personality, menurut saya,
setelah kepungan politik pencitraan, rakyat rindu sesuatu yang murni, polos,
jujur tanpa polesan. Seorang pemimpin yang bukan “setengah dewa” sempurna
fisiknya, intelektual pintar berwacana tapi miskin tindakan nyata dan
unreachable bagi rakyat.
Sosok Jokowi nyelonong menjawab sosok
yang dirindukan rakyat, menjadi alternative karena keriteria-keriteria
personality yang menyegarkan rakyat yang sudah jemu. Salah seorang senior PNI
mengingatkan saya supaya menjadi pemimpin seperti bung Karno, pemimpin yang
bias menjadi ikan di empang atau menjadi burung dihutan. Beliau melihat Jokowi
sebagai model kepemimpinan ala bung Karno. Cuma bedanya kalo Bung Karno
berapi-api, kalau Jokowi nglewes santai. Tapi keduanya memiliki kesamaan
karakter yaitu sama-sama mencintai rakyat.
Memang ada pendapat yang mengatakan
bahwa pemimpin itu diciptakan dan bukan dilahirkan. Namun, pemimpin itu tidak
bias dibuat-buat seperti ala pencitraan. Rakyat akan tahu mana yang polesan dan
mana yang genuine, karena ketulusan juga faktor baru yang dituntut rakyat.
Sepanjang berkarier dibidang politik, adakah moment historic yang membawa
Anda keposisi sekarang ini?
Sepertinya tidak ada kejutan dalam
karier saya. Semua predictable berbasis pada indicator peforma yang terukur.
Saya bekerja keras, professional, bicara ke media dan serius menjalin komunikasi
politik dengan konstituen. Kerja-kerja pun transparan dan akuntable.
Nilai-nilai itu yang dengan sadar saya gunakan untuk bekerja karena saya tahu
diri saya tidak punya faktor-faktor lain sehingga saya diistimewakan. Saya
mengandalkan kinerja yang baik. Saya terlahir dari keluarga pekerja. Kedua
orang tua saya PNS guru. Sederhana tapi tidak pernah kekurangan karena ibu saya
pintar mengakali keadaan, Kedua orang tua membuat buku-buku SMA dan memberikan
les-les Bahas Inggris untuk tambahan penghasilan.
Saya gembira dan terhormat fraksi
memberikan tugas-tugas penting seperti di pansus-pansus BBM, DPT, dan yang
fenomenal adalah Pansus Bank Century yang mendapat banyak perhatian dan liputan
media intensif terutama oleh televisi. Eh saya jadi terkenal. Orang sering
menyapa, Bu Eva yang Century itu ya….haha. saya bangga karena public
menapresiasi kenerja tim PDIP saat itu dan syaa menulis buku tipis sebagai
laporan ke fraksi dan DPP.
BUTUH IDE PROGRSIF
Sejak era reformasi, system politik
bergeser dari parliamentary heavy menjadi executive heavy. Presiden diberi hak
yang lebih besar misalnya menyusun anggaran belanja (RAPBN). Walau system yang
kita anut telah menjadi presidensial, namun presiden diberi kewenangan yang
minimal. DPR masih memiliki kewenangan yang besar sehingga bias memveto
kebijakan pemerintah (Presiden). Karena itu, ada pengamat secara jenaka
menyebutkan bahwa system politik yang dianut Indonesia adalah “system presidensial
bercitaras parlementer”.
Peran dan fungsi parlemen dan partai
politik masih sangat kuat. Hal itu bias positif jika DPR benar-benar
menjalankan fungsi check and balance.
Namun, yang terjadi, parlemen gagal menjalankan fungsinya secara maksimal. DPR
hanya mengejar setoran kepada partai politik dan mengisi pundi-pundi pribadi,
tetapi miskin gagasan pembaharuan yang justru sangat dibutuhkan. Parlemen dan
prati politik tidak mampu menelorkan ide-ide progrsif.
Namun, kita masih bias berharap
karena Senayan masih memiliki wakil rakyat yang memiliki ide-ide progrsif. Salah
satunya Eva Sundari. “Saya memimpikan peran parpol di Skandinavia yang
mengusung ide-ide progresif dan transformasi masyarakat”, ujarnya.
Kita membagi tiga bidang kepemimpinan di negeri ini yakni ekonomi dan
pemimpin dalam bidang budaya. Dengan memilih bidang politik, bagaimana Anda
melihat kemimpinan dalam bidang politik itu harus difungsikan?
Politik di era reformasi memegang
peranan sentral. Lihat saja betapa dominannya pengaruh parpol saat ini baik di
eksekutif bahkan di legislative. Artinya, parpol-parpol berpeluang menjadi lokomotif
bagi transformasi RI tetapi disaat yang sama bisa membawa arah demokrasi kehal
yang sebaliknya.
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk menghindari hal itu?
Kekuasaan yang besar di parpol harus
dikelola oleh kepemimpinan politik yang transformative menuju demokrasi yang
makin substantive, tata pemerintahan yang makin baik, penegakan hukum yang
makin berwibawa dan berkeadilan. Pendeknya rakyat masa kini (dan masa depan)
menjadi semakin sejahtera karena keputusan-keputusan politik yang cerdas,
visioner dan akuntable saat ini.
Saya memimpikan peran parpol di
Skandinavia yang mengusung ide-ide progresif untuk transformasi masyarakat
seperti ide dan konsep kesetaraan gender dengan system pemilu close system dan
candidate list 50% kuota perempuan, green
economy, CSR, Transitional Justice,
Anti Korupsi dan lain-lain. Ide-ide progresif di Indonesia justru diusung oleh
LSM. Hal ini membuat implementasinya sangat lamban sekali karena kekuatan
politik justru berada dipartai-partai politik. Kita prihatin terhadap fakta
bahwa parpol-parpol memimpin system politik tapi miskin ide-ide progresif
sehingga belum berdampak signifikan pada transformasi masyarakat.
Sebagai anggota komisi III DPR RI, apa yang paling meresahkan Anda saat
ini? Dan bagaimana Anda menyikapinya?
Intoleransi, korupsi, impunity. Saya
kombinasikan antara teori dan praksis sehingga sering melakukan
advokasi-advokasi karena pada akhirnya dinilai dari perbuatannya bukan
statementnya. Sementara, pemikiran/statement yang bernas sering merupakan
abstraksi dari realitas di lapangan, kata-kata tanpa diikuti perbuatan yang
sama, jadinya seperti orang meracau. Hindarkan mengumbar kata-kata tanpa makna.
Bagi saya afeksi itu enerji karena berpolitik bukan semata-mata aktifitas
intelektual tapi dialektika yang melibatkan ide (konstitusi, ketatanegaraan)
dan prkasis.
Oleh karenanya saya nyemplung
dibeberapa kaukus untuk keprihatinan saya diatas. Saat ini saya ketua kaukus
ASEAN untuk HAM, anggota GOPAC (Global Organization of Parliament for Anti-Corruption),
Anggota PGA (Parliament for Global Action) yang bekerja untuk ratifikasi
ICC-International Court for Crime demi menghapus impunitas, selain itu masih
tercatat sebagai anggota kaukus Palestina sejak 2009.
Soal kesetaraan, kami melihat Anda sangat gigih memperjuangkannya. Apa sesungguhnya
esensi perjuangan kesetaraaan ini?
Parlemen kan bekerja untuk rakyat,
warga negara, yaitu manusia. Indicator kemanusiaan itu martabat. Jadi kerja-kerja
politik diparleme harus dimuarakan pada menjaga martabat kemanusiaan
manusia/rakyat. Jangan sampai kita mendiamkan, membiarkan bahkan menjadi
penyebab turunnya martabat kemanusiaan rakyat. Praktek diskriminasi, kekerasan,
maupun kemiskinan (termasuk akibat korupsi) merupakan sumber perlakuakn tidak
adil yang merendahkan martabat manusia WNI. Jangan lupa bahwa baik pelaku
maupun korban (korupsi, diskriminasi, kekerasan) sama-sama harus diselamatkan
martabat kemanusiaannya. Sehingga, kekerasan, korupsi, diskriminasi harus
dihentikan demi menjaga martabat kemanusiaan kita.
Dalam beberapa kasus bahkan Anda harus head to head dengan FPI. Sebagai
perempuan yang juga dari etnis jawa, apakah Anda tidak takut?
Takutlah karena mereka (FPI) kan
penganut kekerasan (baik verbal maupun fisik) dan tidak sungkan melakukan
pelanggaran hukum atas nama agama. Tapi saya lebih takut jika kita semua
berhasil ditakuti, dibungkam dan akhirnya mentoleransi kekerasan atas nama
agama (apapun). Sebagai politisi saya harus angkat bicara, menunjukkan sikap menolak
berbagai bentuk kekerasan. Saya juga berbicara keras soal TKI, gender, dan militerisme.
Jika para pemimpin diam dan mendiamkan
maka rakyat dan para korban kehilangan harapan dan negara dikalahkan oleh
premanisme.
Ironisnya ada tokoh yang terang-terangan membela FPI?
Saya prihatin dengan menteri agama
yang justru pernyataan-pernyataannya terkesan membela FPI meski aksi-aksi FPI
berwatak kekerasan dan sudh menimbulakn banyak korban. Jika pertimbangan beliau
takut kehilangan suara FPI untuk partainya, ini tragedi bagi rakyat. Saya amat
berharap duit milliaran rupiah di Kementrian Agama untuk program bimbingan
masyarakat digunakan untuk membina FPI agar menghayati dan menghormati hukum,
negara, konstitusi, 4 pilar sehingga Islam menjadi feminism, lembut dan
mewujudkan rahmatan lil alamin.
Saya juga berharap Menteri Agama terganggu
dan turun tangan dan membina umat Islam Indonesia (HTI, FPI, dan MMI) yang
mengagendakan perjuangan khilafah yang jelas-jelas bertentangan dengan 4 pilar
berbangsa dan bernegara. Membela dan mencintai tanah air tidak bertentangan
dengan Islam bahkan bagian dari iman seperti saya kutip dari KH Hasym Ashary
dan putranya Wahid Hasym.
Siapa yang menginspirasi Anda sehingga memiliki keberanian seperti itu?
Apakah orang tua, suami atau siapa?
Tidak ada. Bawaan Lahir. Semua
keluarga mendukung walau dengan ketar ketir sih. Sejak kecil ibu saya sudah
kaget-kaget dengan prilaku saya. Kelas 1 SMP, kalau jam kosong saya “ngajar:
bahasa Inggris” didepan kelas. Saya jarang dirumah karena banyak hobi dan ketua
ini itu-Pramuka, Silat, PMR, OSIS, Pecinta Alam, BPM, Senat Mahasiswa, GMNI. Gak
ada waktu pacaran karena bapak saya melarang keras pacaran walau saya didunia
yang dominan cowok.
Laki-laki yang menginspirasi saya
tidak dari lingkungan keluarga tetapi Bung Karno dan Gandhi. Itu kombinasi
asyik “Yin-Yang” seperti halnya tokoh perempuan idola saya Kartini dan Cut Nyak
Dien. Saya menemukan kesamaan dari mereka: Nasionalis, Cerdas, keras hati dan
kepala terhadap keyakinan. Mereka elang, tidak takut terbang sendirian.
Dari bursa capres yang bermunculan akhir-akhir ini, siapa yang menurut
Anda paling cocok memimpin Indonesia pasca 2014?
Soal capres masih jauh, masih banyak
kemungkinan kejutan kalau kita bicara tokoh saat ini. Yang jelas saya ingin dan
mendukung kader PDI Perjuangan untuk memimpin negara ini. Jika saat ini rakyat
menginginkan Ketum (Megawati Soekarnoputri,red) dan Jokwi (Joko Widodo,
Gubernur DKI) saya melihat banyak juga kader yang sekualitas Jokowi di PDI
Perjuangan. Sebenarnya saya mimpi kita meninggalkan kesadaran mistis soal “satriyo piningit” yang pendekatannya individu
bukan pendekatan system. Kita harus tinggalkan ketergantungan pada individu
pemimpin sebagai penyelesaian masalah. Kita tata system sehingga siapapun
presidennya, arah itu tetap, bukan berdasarkan selera individu presiden yang
risikonya gak nyambung antar presiden.
PDI Perjuangan hingga saat ini belum “panaskan mesin” untuk kompetisi
capres?
Saya malah bersykur PDI Perjuangan
tidak ikut gaduh soal pencapresan tapi focus ke PILEG karena ingin memperkuat sistem/gerbong.
Ini jalan sunyi dan diluar mainstream sehingga orang-orang jadi tidak sabar
karena PDI Perjuangan kok tidak ikut-ikutan berlayar diperahu mereka. Padahal,
PDI Perjuangan kan sudah ada workplan sendiri yaitu hasil kongres Bali 2010
termasuk soal pencapresan. Walau saya yakin pemimpin PDI Perjuangan terus
waspada mengikuti dinamika di arena politik.
Disarikan dari wawan cara Eva Sundari dengan Majalah LIDER INDONESIA SATU
pada edisi Nomor 9, Tahun II, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar